Kamis, 21 Mei 2015

Sang Penjelajah Samudra



Sang Penjelajah Samudra
Cerpen oleh Rahaminta Bee

“Mereka merebus telur-telurmu,” ujar Bibi Camar.
Kakakku menangis tak karuan mendengarkan apa yang barusan dikatakan oleh Bibi Camar. Sudah kuduga, datang meminta tolong kepada Bibi Camar untuk mencari kabar berita bukan keputusan yang bijak. Kini kakakku dilanda kesedihan, sedangkan aku dirasuki ketakutan.
“Tidak! Bibi bohong, kan?!” bentak kakak, tak ingin percaya dengan kabar yang baru saja disampaikan oleh Bibi Camar.
“Aku mengatakan yang sejujurnya!” Bibi Camar tampak tersinggung karena merasa dituduh berbohong. “Aku terbang kesana dan melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Telur-telur seukuran bola pingpong direbus dalam air mendidih dengan ramuan daun pandan, daun jeruk purut dan daun kunyit.”  
Kakakku semakin menangis histeris mendengar penjelasan Bibi Camar. Sesaat kemudian dia jatuh pingsan. Aku mengangkatnya ke atas cangkangku, berusaha membawanya kembali ke laut, rumah kami.
Kuucapkan terimakasih pada Bibi Camar sebelum pergi berpamitan, “Terimakasih, Bi. Terimakasih, Bibi telah bersedia terbang mencarikan kabar tentang keberadaan keponakan-keponakanku.”
***
Namaku adalah Chelo. Aku adalah putri dari keluarga besar Chelonidae. Keluargaku merupakan satu dari tujuh bangsa penjelajah samudra yang masih tersisa di dunia. Ketujuh bangsa penjelajah samudra itu adalah Penyu Belimbing, Penyu Tempayan, Penyu Sisik, Penyu Lekang, Penyu Pipih, Penyu Kempii, dan kami, Penyu Hijau. Enam dari ketujuh bangsa penjelajah samudra tersebut, termasuk bangsa keluargaku, banyak tersebar di penjuru pantai Nusantara Indonesia. Aku begitu bangga dan bahagia terlahir serta tumbuh besar di negeri tropis yang indah bagai surga ini.
Aku masih ingat ketika pertama kali keluar dari cangkang telurku yang menetas. Pertama kalinya aku mencium udara malam yang segar di hamparan pasir putih yang bersih. Aku tidak sendiri waktu itu. Banyak saudaraku sesama tukik, yaitu sebutan bagi kami yang baru saja menetas, keluar dari cangkang telur masing-masing dalam waktu yang hampir secara bersamaan.
Aku mengamati keempat kaki kecilku. Aku menggerak-gerakkannya di atas pasir putih yang lembut. Kemudian kuamati pula cangkang di atas punggungku, berwarna hijau cantik.
“Ah, itu sebabnya kami disebut penyu hijau,” pikirku dalam hati.
Aku tersenyum, bersyukur kepada Tuhan karena menjadikanku sebagai salah satu ciptaan-Nya yang indah. Oh, Tuhan sungguh Maha Besar.
Kekagumanku akan kebesaran Tuhan tiba-tiba terusik oleh suara seekor tukik penyu hijau cantik lain yang berdiri menyapaku.
“Hai, apakah kau baik-baik saja, Adikku?” dia menyapaku dengan lembut.
Kulihat cangkang telurnya telah kering di samping cangkang telurku. Dia menetas lebih dulu daripada aku. Aku langsung mengenalinya dan membalas sapaannya dengan senyum pula, “Tentu saja, Kakak.”
Waktu itu, setelah saling bertegur sapa untuk pertama kalinya, aku dan kakakku bergegas mengikuti rombongan tukik-tukik lain yang berbondong-bondong berlari menuju laut. Kami berlari mengikuti arah asal suara ombak yang teralun merdu. Aroma segar laut turut membimbing kami berlarian menuju rumah kami, menuju orangtua yang merindukan kami.
Sentuhan air laut pada kakiku untuk yang pertama kalinya membuatku dirayapi kebahagiaan. Aku dan kakakku telah mencapai air laut dengan susah payah.  Perjalanan yang tidak mudah memang. Beberapa kali kami tersapu oleh ombak hingga kembali lagi ke daratan pantai. Kami berlari lagi, kemudian tersapu oleh ombak lagi. Begitulah. Hal tersebut berulang hingga beberapa kali. Namun semua jerih payah kami terbayarkan setelah kami berhasil sampai di laut dan bertemu dengan orangtua yang telah menantikan kami. Untuk pertama kalinya, aku dan kakakku bertemu dengan ayah dan ibu. Ayah dan ibu memeluk kami, kemudian memberi nama yang cantik kepada kami. Chelo nama untukku dan Lonia untuk kakakku.
***
Aku belum pernah melihat kakakku, Lonia, sesedih ini. Dua puluh lima tahun telah berlalu sejak pertama kali aku bertemu dengannya, namun selama itu pula aku belum pernah melihatnya semerana ini. Dia begitu terpukul setelah mendengar kabar yang disampaikan oleh Bibi Camar. Harapannya menyimpan telur-telur keturunannya di daratan pantai agar dapat menetas dan kembali padanya dalam wujud tukik pupus sudah. Tukik-tukiknya tidak pernah kembali.
“Mengapa mereka begitu kejam?!” teriak Lonia dipenuhi kesedihan sesaat setelah siuman dari pingsannya. “Mengapa mereka begitu tega?!”
“Sabar anakku,” jawab ibu lirih sambil mengelus lembut cangkang Lonia.
Aku hanya diam saja, tak mampu berkata apa-apa karena akupun bertanya-tanya sebagaimana yang dipikirkan Lonia. Mengapa manusia begitu jahat?
“Pertama, mereka merusak terumbu karang yang merupakan rumah kita! Berikutnya mereka mencelakai ayah dan sekarang…” Lonia tidak mampu meneruskan kalimatnya. Dia kembali menangis.
Aku turut menangis. Ya, benar sekali apa yang dikatakan Lonia. Aku masih ingat bagaimana kami dan saudara-saudara kami harus melarikan diri dari rumah kami. Waktu itu, terumbu karang tempat tinggal kami hancur akibat ledakan yang diciptakan oleh manusia. Manusia berusaha menangkap ikan dengan bom. Aku juga masih ingat kematian ayah akibat memakan ikan dan rumput laut yang tercemar racun potasium. Lagi-lagi akibat ulah manusia.
“Apa mereka tidak menyadari?! Jumlah keluarga kita semakin sedikit!” Lonia semakin menangis histeris. “Bukan hanya telurku, nasib telur-telur saudara kita yang lain pun juga sama! Kita bisa punah!”
“Shh… Sabar, Nak,” ibu berusaha menenangkan Lonia.
Aku yang tidak sanggup berkata apapun turut sedih melihat keadaan Lonia kehilangan telur-telurnya. Kini, aku pun turut menderita karena khawatir. Sebentar lagi akan tiba giliranku untuk bertelur. Aku harus bagaimana? Harus kusimpan di mana telur-telurku nanti? Apakah aku juga harus merelakan telur-telurku nantinya direbus seperti yang dikatakan oleh Bibi Camar? Membayangkannya saja membuat hatiku begitu pilu.
***
Hari demi hari telah berlalu. Kecemasanku semakin bertambah. Beberapa hari ini aku mulai merasakan tanda-tanda akan segera bertelur dan aku belum memutuskan di mana akan menyimpan telur-telurku agar tidak bernasib sama seperti telur-telur Lonia. Di manakah daratan pantai yang aman untuk menyimpan telur-telur keturunanku?
Perutku tiba-tiba terasa sakit. Aku mulai merasa ingin segera bertelur. Lonia dan ibu segera menghampiriku untuk membantu. Mereka mendampingiku berenang ke pantai. Kini, kami semakin mengalami kesulitan untuk menemukan daratan pantai lebar, terbuka dan sepi yang sesuai untuk bertelur dan menyimpan telur. Banyak daratan pantai yang telah ramai dihuni oleh para manusia yang mendirikan pondok-pondok penginapan untuk pariwisata. Bagaimana ini?
Malam semakin gulita. Karena tidak banyak waktu, aku yang sudah tidak dapat menahan sakit lagi akhirnya memutuskan untuk bertelur di daratan pantai tempat aku menetas dulu.
Aku mulai menyusuri pantai. Kulihat ibu dan Lonia mangawasi dari jauh. Perlahan namun pasti, aku mulai menggali pasir untuk menyimpan telur-telurku. Sembari menggali, kuamati pemandangan pantai ini. Setelah dua puluh lima tahun, akhirnya aku kembali lagi ke sini, tempat menetasku. Tempat di mana ibu menyembunyikan aku beserta kakak dengan aman. Aku kembali ke sini untuk menelurkan keturunanku dan berharap mereka aman seperti diriku dulu.
Tiupan angin dan deburan ombak perlahan mengiringi lahirnya telur-telurku. Telur-telur berukuran seperti bola pingpong berwarna putih bening yang membuatku terharu. Aku buru-buru menimbun mereka dengan pasir, berharap mereka tetap hangat dan aman.
Setelah memastikan semua telurku aman, aku kembali ke laut bersama ibu dan Lonia. Meski telah memastikan semua aman, benakku masih dipenuhi kegundahan. Pikiranku terus berkecamuk dipenuhi oleh bayang-bayang mengerikan seperti yang dikatakan oleh Bibi Camar. ‘Mereka merebus telur-telurmu dalam air mendidih dengan ramuan daun pandan, daun jeruk purut dan daun kunyit.’ Aku menggigil ketakutan. Kuputuskan, esok pagi aku akan memeriksa telur-telurku di pantai.
Keesokan harinya, aku bergegas berenang menuju pantai. Aku pergi bahkan sebelum matahari terbit. Hatiku telah dipenuhi kecemasan. Apakah telur-telurku aman? Apakah mereka menemukan tempat persembunyian telur-telurku? Apakah mereka akan merebusnya? Oh Tuhan, aku merasa sangat cemas!
Aku sampai di pinggir laut dengan perasaan campur aduk. Aku menghela napas lega. Aku bisa melihat sarang telurku masih aman di sana. Aku mulai berenang mendekati pantai. Namun langkahku tiba-tiba terhenti.  Tiba-tiba saja aku melihat sekawanan manusia mendekati sarang telurku. Oh, tidak! Mereka menemukannya! Apa yang harus kulakukan?!
Aku menangis. Dari atas bebatuan karang di pinggir laut, aku hanya bisa menangis melihat para manusia mengambil telur-telurku. Mereka mengambil semua telurku dan memasukkannya ke dalam ember-ember yang mereka bawa.
Tidak bisa kupercaya! Mereka bahkan juga mengambil telur-telur penyu lain. Mereka mengambil semuanya tanpa menyisakan satupun. Aku menangis sejadinya. Aku meninggalkan pantai dengan hati hancur.
***
Sebelas minggu telah berlalu sejak aku menelurkan telur-telurku di daratan pantai itu. Kini aku berdiri lagi pada bebatuan karang pinggir laut sambil memandang pantai itu. Pantai di mana para manusia mencuri telur-telurku.
Hari ini, telur-telurku seharusnya kembali ke laut sebagai tukik-tukik yang lucu. Namun, apa yang bisa kuharapkan? Aku hanya bisa menangis, merindukan tukik-tukikku. Dalam kerinduan yang semakin mendalam, kusampaikan harapanku tentang manusia kepada Tuhan Sang Maha Pencipta. Induk-induk penyu lain yang juga kehilangan telur-telur mereka pun turut berdoa bersamaku.
Tuhan, kami percaya kepadaMu…
Kami percaya, keputusan-Mu menunjuk manusia sebagai pemimpin di dunia ini tidak akan pernah salah…
Kami percaya, sebagaimana banyaknya manusia jahat di luar sana, Kau pun menciptakan banyak manusia yang berhati mulia…
Ingatkanlah pada mereka Tuhan, bahwa Engkau memberi mereka akal, yang tidak kau berikan pada kami, adalah untuk memuliakan dan memelihara alam yang Kau ciptakan…
Ingatkanlah pada mereka Tuhan, bahwa sebagaimana semua makhluk yang Kau ciptakan di dunia ini, kami pun merelakan diri kami untuk menyejahteraan kehidupan mereka…
Namun begitu, ingatkanlah pada mereka Tuhan, untuk tidak membantai habis keseluruhan dari keturunan kami, tidak menghancurkan rumah kami, dan tidak pula mencemari makanan kami dengan racun…
Ingatkanlah pada mereka Tuhan, agar menyejahterakan kehidupan kami pula…
Kami menangis Tuhan…
Selamatkan keturunan kami Tuhan, selamatkan kehidupan kami dari mereka yang tidak takut padaMu…
Kami memohon Tuhan…
Kami berharap pada-Mu melalui mereka yang takut padaMu…
Kami yakin, keputusan-Mu menunjuk mereka sebagai pemimpin di dunia ini tidak akan pernah salah…
Kami percaya padaMu, Tuhan
Aku menyudahi doaku dengan air mata yang semakin deras. Kami, rombongan induk penyu, kembali ke laut dengan perasaan rindu dan pilu yang semakin menderu. Air mata kami melebur bersama air laut yang asin.
***
“Mereka kembali! Mereka kembali!”
Aku dibangunkan oleh suara teriakan Lonia yang memekakkan telinga. Kulihat arah timur, sinar matahari terbit masih malu-malu di ufuk timur sana. Ada apakah gerangan? Mengapa Lonia berteriak-teriak?
“Chelo, bangun! Ayo cepat ikut aku!” teriak Lonia lagi.
Lonia terus menarik dan memaksaku untuk bangun. Dengan terpaksa aku mengikutinya. Di luar terumbu kami, kulihat induk penyu lain berbondong-bondong berenang ke arah pantai.
“Ada apa sebenarnya, Lonia?” aku bertanya.
“Sudahlah, ikut saja! Cepat!” jawab singkat Lonia.
Kami berenang menuju pantai. Pantai yang sama di mana dulu aku menyimpan telur-telurku. Kami berhenti pada bebatuan karang besar yang sama di mana dulu aku menyampaikan harapan dan doa kepada Tuhan. Aku memandang jauh ke arah pantai. Aku melihat mereka lagi! Mereka adalah manusia-manusia yang mencuri telurku! Telur kami!
Aku masih berusaha memperhatikan ke arah pantai. Tidak! Tidak mungkin! Apakah mataku ini salah lihat? Anak-anak tukik kami masih hidup! Manusia-manusia itu membebaskan anak-anak tukik kami. Mereka mengeluarkan anak-anak tukik kami dari dalam ember-ember yang sama seperti ketika mereka mengambil telur-telur kami. Mereka membebaskan anak-anak tukik kami dan membiarkannya berlari menuju laut!
Ratusan anak tukik berlarian menuju laut. Mereka sudah tumbuh cukup besar. Tentu saja, sekarang sudah dua bulan berlalu semenjak hari seharusnya mereka menetas. Mataku mencari-cari tukikku. Kulihat disana! Tiga ekor tukik yang kukenali hanya dengan memandangnya dari kejauhan. Mereka anak-anakku! Aku menangis bahagia penuh haru!
Siapakah sebenarnya mereka? Siapakah gerangan manusia-manusia yang berhati mulia itu? Aku telah salah mengira bahwa mereka menangkap telur-telurku untuk direbus. Aku menyesal telah salah menilai mereka. Kukira mereka semua adalah orang jahat. Ternyata sebaliknya, mereka melindungi telur-telurku dari orang-orang jahat, merawat dan membesarkan tukik-tukikku, kemudian mengembalikannya padaku. Terimakasih Tuhan. Aku tahu, aku tidak salah dengan meyakinimu.
Aku membawa tukik-tukikku ke dalam laut. Ibu dan Lonia turut berbahagia untukku. Sebelum benar-benar meninggalkan pantai, kupandangi sekali lagi manusia-manusia berhati mulia itu. Mereka melambaikan tangan pada kami sambil meneriakkan kata-kata selamat jalan. Kuamati pakaian yang mereka kenakan. Di sana bertuliskan ‘Tim Konservasi Penyu’. Aku tak tahu artinya, tapi aku berterimakasih pada mereka. Aku berdoa, semoga Tuhan menyayangi dan melindungi mereka sebagaimana mereka menyayangi dan melindungi kami.

~Karanganyar, Mei 2014~