Sang
Penjelajah Samudra
Cerpen
oleh Rahaminta Bee
“Mereka merebus
telur-telurmu,” ujar Bibi Camar.
Kakakku menangis
tak karuan mendengarkan apa yang barusan dikatakan oleh Bibi Camar. Sudah
kuduga, datang meminta tolong kepada Bibi Camar untuk mencari kabar berita
bukan keputusan yang bijak. Kini kakakku dilanda kesedihan, sedangkan aku dirasuki
ketakutan.
“Tidak! Bibi
bohong, kan?!” bentak kakak, tak ingin percaya dengan kabar yang baru saja disampaikan
oleh Bibi Camar.
“Aku mengatakan
yang sejujurnya!” Bibi Camar tampak tersinggung karena merasa dituduh
berbohong. “Aku terbang kesana dan melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Telur-telur
seukuran bola pingpong direbus dalam air mendidih dengan ramuan daun pandan,
daun jeruk purut dan daun kunyit.”
Kakakku semakin menangis
histeris mendengar penjelasan Bibi Camar. Sesaat kemudian dia jatuh pingsan.
Aku mengangkatnya ke atas cangkangku, berusaha membawanya kembali ke laut, rumah
kami.
Kuucapkan
terimakasih pada Bibi Camar sebelum pergi berpamitan, “Terimakasih, Bi. Terimakasih,
Bibi telah bersedia terbang mencarikan kabar tentang keberadaan
keponakan-keponakanku.”
***
Namaku adalah Chelo.
Aku adalah putri dari keluarga besar Chelonidae.
Keluargaku merupakan satu dari tujuh bangsa penjelajah samudra yang masih
tersisa di dunia. Ketujuh bangsa penjelajah samudra itu adalah Penyu Belimbing,
Penyu Tempayan, Penyu Sisik, Penyu Lekang, Penyu Pipih, Penyu Kempii, dan kami,
Penyu Hijau. Enam dari ketujuh bangsa penjelajah samudra tersebut, termasuk bangsa
keluargaku, banyak tersebar di penjuru pantai Nusantara Indonesia. Aku begitu
bangga dan bahagia terlahir serta tumbuh besar di negeri tropis yang indah
bagai surga ini.
Aku masih ingat
ketika pertama kali keluar dari cangkang telurku yang menetas. Pertama kalinya aku
mencium udara malam yang segar di hamparan pasir putih yang bersih. Aku tidak
sendiri waktu itu. Banyak saudaraku sesama tukik, yaitu sebutan bagi kami yang
baru saja menetas, keluar dari cangkang telur masing-masing dalam waktu yang
hampir secara bersamaan.
Aku mengamati keempat
kaki kecilku. Aku menggerak-gerakkannya di atas pasir putih yang lembut.
Kemudian kuamati pula cangkang di atas punggungku, berwarna hijau cantik.
“Ah, itu
sebabnya kami disebut penyu hijau,” pikirku dalam hati.
Aku tersenyum,
bersyukur kepada Tuhan karena menjadikanku sebagai salah satu ciptaan-Nya yang indah.
Oh, Tuhan sungguh Maha Besar.
Kekagumanku akan
kebesaran Tuhan tiba-tiba terusik oleh suara seekor tukik penyu hijau cantik
lain yang berdiri menyapaku.
“Hai, apakah kau
baik-baik saja, Adikku?” dia menyapaku dengan lembut.
Kulihat cangkang
telurnya telah kering di samping cangkang telurku. Dia menetas lebih dulu
daripada aku. Aku langsung mengenalinya dan membalas sapaannya dengan senyum
pula, “Tentu saja, Kakak.”
Waktu itu, setelah
saling bertegur sapa untuk pertama kalinya, aku dan kakakku bergegas mengikuti
rombongan tukik-tukik lain yang berbondong-bondong berlari menuju laut. Kami berlari
mengikuti arah asal suara ombak yang teralun merdu. Aroma segar laut turut
membimbing kami berlarian menuju rumah kami, menuju orangtua yang merindukan
kami.
Sentuhan air
laut pada kakiku untuk yang pertama kalinya membuatku dirayapi kebahagiaan. Aku
dan kakakku telah mencapai air laut dengan susah payah. Perjalanan yang tidak mudah memang. Beberapa
kali kami tersapu oleh ombak hingga kembali lagi ke daratan pantai. Kami
berlari lagi, kemudian tersapu oleh ombak lagi. Begitulah. Hal tersebut berulang
hingga beberapa kali. Namun semua jerih payah kami terbayarkan setelah kami
berhasil sampai di laut dan bertemu dengan orangtua yang telah menantikan kami.
Untuk pertama kalinya, aku dan kakakku bertemu dengan ayah dan ibu. Ayah dan
ibu memeluk kami, kemudian memberi nama yang cantik kepada kami. Chelo nama untukku
dan Lonia untuk kakakku.
***
Aku belum pernah
melihat kakakku, Lonia, sesedih ini. Dua puluh lima tahun telah berlalu sejak
pertama kali aku bertemu dengannya, namun selama itu pula aku belum pernah
melihatnya semerana ini. Dia begitu terpukul setelah mendengar kabar yang
disampaikan oleh Bibi Camar. Harapannya menyimpan telur-telur keturunannya di daratan
pantai agar dapat menetas dan kembali padanya dalam wujud tukik pupus sudah. Tukik-tukiknya
tidak pernah kembali.
“Mengapa mereka
begitu kejam?!” teriak Lonia dipenuhi kesedihan sesaat setelah siuman dari
pingsannya. “Mengapa mereka begitu tega?!”
“Sabar anakku,”
jawab ibu lirih sambil mengelus lembut cangkang Lonia.
Aku hanya diam
saja, tak mampu berkata apa-apa karena akupun bertanya-tanya sebagaimana yang
dipikirkan Lonia. Mengapa manusia begitu jahat?
“Pertama, mereka
merusak terumbu karang yang merupakan rumah kita! Berikutnya mereka mencelakai
ayah dan sekarang…” Lonia tidak mampu meneruskan kalimatnya. Dia kembali
menangis.
Aku turut
menangis. Ya, benar sekali apa yang dikatakan Lonia. Aku masih ingat bagaimana
kami dan saudara-saudara kami harus melarikan diri dari rumah kami. Waktu itu,
terumbu karang tempat tinggal kami hancur akibat ledakan yang diciptakan oleh manusia.
Manusia berusaha menangkap ikan dengan bom. Aku juga masih ingat kematian ayah
akibat memakan ikan dan rumput laut yang tercemar racun potasium. Lagi-lagi
akibat ulah manusia.
“Apa mereka
tidak menyadari?! Jumlah keluarga kita semakin sedikit!” Lonia semakin menangis
histeris. “Bukan hanya telurku, nasib telur-telur saudara kita yang lain pun
juga sama! Kita bisa punah!”
“Shh… Sabar,
Nak,” ibu berusaha menenangkan Lonia.
Aku yang tidak sanggup
berkata apapun turut sedih melihat keadaan Lonia kehilangan telur-telurnya. Kini,
aku pun turut menderita karena khawatir. Sebentar lagi akan tiba giliranku
untuk bertelur. Aku harus bagaimana? Harus kusimpan di mana telur-telurku
nanti? Apakah aku juga harus merelakan telur-telurku nantinya direbus seperti
yang dikatakan oleh Bibi Camar? Membayangkannya saja membuat hatiku begitu
pilu.
***
Hari demi hari
telah berlalu. Kecemasanku semakin bertambah. Beberapa hari ini aku mulai
merasakan tanda-tanda akan segera bertelur dan aku belum memutuskan di mana
akan menyimpan telur-telurku agar tidak bernasib sama seperti telur-telur
Lonia. Di manakah daratan pantai yang aman untuk menyimpan telur-telur keturunanku?
Perutku
tiba-tiba terasa sakit. Aku mulai merasa ingin segera bertelur. Lonia dan ibu
segera menghampiriku untuk membantu. Mereka mendampingiku berenang ke pantai.
Kini, kami semakin mengalami kesulitan untuk menemukan daratan pantai lebar,
terbuka dan sepi yang sesuai untuk bertelur dan menyimpan telur. Banyak daratan
pantai yang telah ramai dihuni oleh para manusia yang mendirikan pondok-pondok penginapan
untuk pariwisata. Bagaimana ini?
Malam semakin
gulita. Karena tidak banyak waktu, aku yang sudah tidak dapat menahan sakit
lagi akhirnya memutuskan untuk bertelur di daratan pantai tempat aku menetas
dulu.
Aku mulai
menyusuri pantai. Kulihat ibu dan Lonia mangawasi dari jauh. Perlahan namun
pasti, aku mulai menggali pasir untuk menyimpan telur-telurku. Sembari menggali,
kuamati pemandangan pantai ini. Setelah dua puluh lima tahun, akhirnya aku
kembali lagi ke sini, tempat menetasku. Tempat di mana ibu menyembunyikan aku beserta
kakak dengan aman. Aku kembali ke sini untuk menelurkan keturunanku dan
berharap mereka aman seperti diriku dulu.
Tiupan angin dan
deburan ombak perlahan mengiringi lahirnya telur-telurku. Telur-telur berukuran
seperti bola pingpong berwarna putih bening yang membuatku terharu. Aku
buru-buru menimbun mereka dengan pasir, berharap mereka tetap hangat dan aman.
Setelah
memastikan semua telurku aman, aku kembali ke laut bersama ibu dan Lonia. Meski
telah memastikan semua aman, benakku masih dipenuhi kegundahan. Pikiranku terus
berkecamuk dipenuhi oleh bayang-bayang mengerikan seperti yang dikatakan oleh
Bibi Camar. ‘Mereka merebus telur-telurmu
dalam air mendidih dengan ramuan daun pandan, daun jeruk purut dan daun
kunyit.’ Aku menggigil ketakutan. Kuputuskan, esok pagi aku akan memeriksa
telur-telurku di pantai.
Keesokan
harinya, aku bergegas berenang menuju pantai. Aku pergi bahkan sebelum matahari
terbit. Hatiku telah dipenuhi kecemasan. Apakah telur-telurku aman? Apakah
mereka menemukan tempat persembunyian telur-telurku? Apakah mereka akan merebusnya?
Oh Tuhan, aku merasa sangat cemas!
Aku sampai di
pinggir laut dengan perasaan campur aduk. Aku menghela napas lega. Aku bisa
melihat sarang telurku masih aman di sana. Aku mulai berenang mendekati pantai.
Namun langkahku tiba-tiba terhenti. Tiba-tiba
saja aku melihat sekawanan manusia mendekati sarang telurku. Oh, tidak! Mereka
menemukannya! Apa yang harus kulakukan?!
Aku menangis.
Dari atas bebatuan karang di pinggir laut, aku hanya bisa menangis melihat para
manusia mengambil telur-telurku. Mereka mengambil semua telurku dan memasukkannya
ke dalam ember-ember yang mereka bawa.
Tidak bisa
kupercaya! Mereka bahkan juga mengambil telur-telur penyu lain. Mereka mengambil
semuanya tanpa menyisakan satupun. Aku menangis sejadinya. Aku meninggalkan
pantai dengan hati hancur.
***
Sebelas minggu
telah berlalu sejak aku menelurkan telur-telurku di daratan pantai itu. Kini aku
berdiri lagi pada bebatuan karang pinggir laut sambil memandang pantai itu. Pantai
di mana para manusia mencuri telur-telurku.
Hari ini, telur-telurku
seharusnya kembali ke laut sebagai tukik-tukik yang lucu. Namun, apa yang bisa
kuharapkan? Aku hanya bisa menangis, merindukan tukik-tukikku. Dalam kerinduan yang
semakin mendalam, kusampaikan harapanku tentang manusia kepada Tuhan Sang Maha
Pencipta. Induk-induk penyu lain yang juga kehilangan telur-telur mereka pun
turut berdoa bersamaku.
Tuhan,
kami percaya kepadaMu…
Kami
percaya, keputusan-Mu menunjuk manusia sebagai pemimpin di dunia ini tidak akan
pernah salah…
Kami
percaya, sebagaimana banyaknya manusia jahat di luar sana, Kau pun menciptakan
banyak manusia yang berhati mulia…
Ingatkanlah
pada mereka Tuhan, bahwa Engkau memberi mereka akal, yang tidak kau berikan
pada kami, adalah untuk memuliakan dan memelihara alam yang Kau ciptakan…
Ingatkanlah
pada mereka Tuhan, bahwa sebagaimana semua makhluk yang Kau ciptakan di dunia
ini, kami pun merelakan diri kami untuk menyejahteraan kehidupan mereka…
Namun
begitu, ingatkanlah pada mereka Tuhan, untuk tidak membantai habis keseluruhan
dari keturunan kami, tidak menghancurkan rumah kami, dan tidak pula mencemari
makanan kami dengan racun…
Ingatkanlah
pada mereka Tuhan, agar menyejahterakan kehidupan kami pula…
Kami
menangis Tuhan…
Selamatkan
keturunan kami Tuhan, selamatkan kehidupan kami dari mereka yang tidak takut
padaMu…
Kami
memohon Tuhan…
Kami
berharap pada-Mu melalui mereka yang takut padaMu…
Kami
yakin, keputusan-Mu menunjuk mereka sebagai pemimpin di dunia ini tidak akan
pernah salah…
Kami
percaya padaMu, Tuhan
Aku menyudahi
doaku dengan air mata yang semakin deras. Kami, rombongan induk penyu, kembali
ke laut dengan perasaan rindu dan pilu yang semakin menderu. Air mata kami
melebur bersama air laut yang asin.
***
“Mereka kembali!
Mereka kembali!”
Aku dibangunkan
oleh suara teriakan Lonia yang memekakkan telinga. Kulihat arah timur, sinar
matahari terbit masih malu-malu di ufuk timur sana. Ada apakah gerangan?
Mengapa Lonia berteriak-teriak?
“Chelo, bangun!
Ayo cepat ikut aku!” teriak Lonia lagi.
Lonia terus
menarik dan memaksaku untuk bangun. Dengan terpaksa aku mengikutinya. Di luar
terumbu kami, kulihat induk penyu lain berbondong-bondong berenang ke arah pantai.
“Ada apa
sebenarnya, Lonia?” aku bertanya.
“Sudahlah, ikut
saja! Cepat!” jawab singkat Lonia.
Kami berenang
menuju pantai. Pantai yang sama di mana dulu aku menyimpan telur-telurku. Kami
berhenti pada bebatuan karang besar yang sama di mana dulu aku menyampaikan
harapan dan doa kepada Tuhan. Aku memandang jauh ke arah pantai. Aku melihat
mereka lagi! Mereka adalah manusia-manusia yang mencuri telurku! Telur kami!
Aku masih
berusaha memperhatikan ke arah pantai. Tidak! Tidak mungkin! Apakah mataku ini
salah lihat? Anak-anak tukik kami masih hidup! Manusia-manusia itu membebaskan
anak-anak tukik kami. Mereka mengeluarkan anak-anak tukik kami dari dalam
ember-ember yang sama seperti ketika mereka mengambil telur-telur kami. Mereka
membebaskan anak-anak tukik kami dan membiarkannya berlari menuju laut!
Ratusan anak
tukik berlarian menuju laut. Mereka sudah tumbuh cukup besar. Tentu saja,
sekarang sudah dua bulan berlalu semenjak hari seharusnya mereka menetas.
Mataku mencari-cari tukikku. Kulihat disana! Tiga ekor tukik yang kukenali
hanya dengan memandangnya dari kejauhan. Mereka anak-anakku! Aku menangis
bahagia penuh haru!
Siapakah
sebenarnya mereka? Siapakah gerangan manusia-manusia yang berhati mulia itu?
Aku telah salah mengira bahwa mereka menangkap telur-telurku untuk direbus. Aku
menyesal telah salah menilai mereka. Kukira mereka semua adalah orang jahat.
Ternyata sebaliknya, mereka melindungi telur-telurku dari orang-orang jahat,
merawat dan membesarkan tukik-tukikku, kemudian mengembalikannya padaku.
Terimakasih Tuhan. Aku tahu, aku tidak salah dengan meyakinimu.
Aku membawa
tukik-tukikku ke dalam laut. Ibu dan Lonia turut berbahagia untukku. Sebelum
benar-benar meninggalkan pantai, kupandangi sekali lagi manusia-manusia berhati
mulia itu. Mereka melambaikan tangan pada kami sambil meneriakkan kata-kata
selamat jalan. Kuamati pakaian yang mereka kenakan. Di sana bertuliskan ‘Tim
Konservasi Penyu’. Aku tak tahu artinya, tapi aku berterimakasih pada mereka.
Aku berdoa, semoga Tuhan menyayangi dan melindungi mereka sebagaimana mereka
menyayangi dan melindungi kami.
~Karanganyar, Mei 2014~