Senin, 21 Desember 2015

#EverlastingWoman



Estafet Cinta Tak Berujung
Cerpen Rahaminta Bee

“JANGAN PEGANG IBU!!!” teriak ibu pada kami, ketiga putri kecilnya. Teriakan ibu yang begitu keras, menggaung hingga seluruh warga kampung dalam radius dua ratus meter keluar dari rumahnya masing-masing, bertanya-tanya ‘ada apakah gerangan?’ Aku dan kedua adik perempuanku syok, terpaku melihat ibu berdiri di sana. Kami menangis sejadinya, tangisan histeris yang terdengar tidak kalah keras dengan teriakan ibu.
Aneh. Mengapa dari sekian banyak peristiwa yang aku alami justru kenangan itu yang terbayang di pikiranku sekarang ini? Peristiwa yang terjadi belasan tahun yang lalu, namun terasa seperti baru terjadi kemarin. Oh Tuhan, mengingat kembali peristiwa itu membuat tubuhku yang sedang begitu kesakitan ini semakin terasa sakit. Aku menggenggam erat ujung bantal yang menopang kepalaku. Tubuhku begitu sakit. Peristiwa itu semakin jelas terbayang di benakku.
***
Dia adalah Astuti, ibuku, ibu kami. Aku dapat membayangkan wajahnya yang tersenyum lembut padaku. Sebenarnya, dia adalah seorang perempuan dengan wajah yang biasa saja. Dia tidak memiliki hidung mancung, bulu mata lentik, gigi yang rapi ataupun kulit kencang tanpa keriput. Tidak, tidak. Dia juga tidak mengenakan pakaian mahal, modis ataupun bermerek. Tidak ada perhiasan yang menghiasi tubuhnya, barang sekedar anting ataupun cincin kawin. Tidak, tidak ada. Bahkan selama ini, kotak rias yang dimilikinya hanya berisi sebuah bedak dengan spons yang telah rombeng serta sebuah lipstik untuk memoles tipis bibirnya. Tidak ada eye shadow, blush on, maskara atau sekedar losion tubuh. Tidak, tidak ada. Namun, tidak dibutuhkan itu semua untuk membuatnya terlihat mempesona. Kecantikkan hatinya menjelaskan semua pesona, keanggunan, dan kejelitaan yang terpancar di balik penampilannya yang biasa saja. Seorang perempuan sederhana, namun memiliki keteguhan hati yang luar biasa. Dia adalah ibuku, ibu kami.
Sejak dulu, ibu memang dapat dikatakan terlihat seperti wanita acuh tak acuh pada penampilan. Tapi aku tahu, hal itu bukan karena ibu tak peduli, melainkan lebih karena ibu tidak terbiasa untuk menyempatkan diri bahkan hanya untuk sekedar memikirkannya. Terlahir sebagai putri sulung dari sepuluh bersaudara membuat ibu mengemban tanggung jawab lebih besar dibanding perempuan lain. Terlebih lagi karena keadaan ekonomi keluarga ibu dulu memang sangat memprihatinkan. Kakek yang dulu merupakan pensiunan tentara veteran bekerja sebagai buruh tani di lahan orang, sedangkan nenek sibuk merawat anak orang lain sebagai pengasuh yang memungkinkannya pulang ke rumah hanya dua kali dalam sebulan. Begitulah, ibuku nyaris berperan sebagai ibu bagi adik-adiknya di usianya yang masih sangat belia. Posisi yang sama denganku sebagai kakak sulung bagi adik-adikku, namun peran yang tidak sanggup aku lakukan untuk menggantikannya sebagai ibu bagi adik-adikku. Maka dari itu, hatiku begitu hancur melihatnya berdiri di sana meneriaki kami untuk pergi menjauh, tanpa dapat berbuat apapun.
***
Aku masih ingat dengan jelas, saat itu Ramadhan tahun 1419 H atau sekitar bulan Januari 1999. Tidak ada yang berbeda dari waktu-waktu biasanya. Sebagaimana wilayah Indonesia pada umumnya, pada bulan Januari, kampung tempat tinggal kami mengalami musim penghujan dan sebagaimana warga beragama Islam pada umumnya, Januari yang bertepatan dengan bulan Ramadhan ini menjadi saat-saat yang bahagia bagi keluarga kami.
Waktu itu, hanya tiga hari menjelang Hari Raya Idul Fitri, menjelang hari yang penuh kemenangan dan kegembiraan bagi kaum Muslimin. Hari yang dinantikan oleh seluruh umat Islam di dunia, namun menjadi hari paling berduka bagi keluarga kami. Seluruh anggota keluarga berkumpul, namun tidak ada tawa, canda ataupun semangat menyambut hari raya. Tidak ada yang salah sebelumnya. Sungguh, semua baik-baik saja. Tidak terbesit sedikit pun dalam benakku bahwa hanya dibutuhkan waktu beberapa detik untuk mengubah keadaan yang baik-baik saja itu menjadi sebuah tragedi.
Berawal pada sebuah pagi yang mendung seperti hari-hari sebelumnya. Selama beberapa hari itu, hujan terus mengguyur kampung kami. Namun mendung hitam di pagi hari itu tidak sedikitpun mengusik semangat kami menyambut hari Lebaran. Sebagaimana keluarga Muslim lainnya, keluargaku yang terdiri dari bapak, ibu, aku yang masih duduk di bangku SMA serta kedua adik perempuanku yang masih SMP dan SD, mempersiapkan datangnya hari Lebaran yang telah kami nantikan dengan penuh suka cita. Bapak menyiapkan dan menata karpet-karpet besar di ruang tamu untuk menyambut tamu yang akan datang saat Lebaran nanti. Sedangkan aku dan adik-adikku membantu ibu menyiapkan masakan-masakan spesial ala lebaran seperti ketupat, opor, gulai serta cemilan-cemilan khas seperti kue semprit, nastar, castangel, dan putih salju. Semuanya benar-benar tampak sempurna.
Banyak  pekerjaan yang harus dilakukan waktu itu, terlebih lagi pada saat musim penghujan yang memang tidak pernah sepenuhnya bersahabat dengan rumah kami. Teras yang kotor akibat percikan lumpur, atap bocor, lantai basah, semua harus diselesaikan untuk mempersiapkan suasana Lebaran yang khidmat. Belum lagi masalah yang menjadi langganan ketika air tanah dalam sumur meluap akibat hujan deras, yaitu pompa air yang hampir terendam oleh air sumur.
Sumur rumah kami memang bisa dibilang jauh dari kata praktis. Sebuah sumur berbentuk lingkaran dengan diameter berukuran satu meter yang dibangun setinggi pinggang orang dewasa, dan memiliki kedalaman empat belas meter. Di dalamnya, terpasang mesin pompa air yang terhubung dengan pipa-pipa paralon, menghubungkan air dalam sumur menuju ke bak-bak penampungan air. Mesin pompa air yang terhubung dengan pipa-pipa paralon dipertahankan berada satu meter di atas permukaan air sumur karena daya sedot mesin pompa air yang kami gunakan memang tidak seberapa. Itu artinya, bila musim kemarau tiba yang menyebabkan air sumur surut, mesin pompa air akan diturunkan dengan menambah sambungan pipa paralon lagi di atasnya. Sedangkan pada musim penghujan seperti yang terjadi waktu itu, mesin pompa air harus dinaikkan agar tidak terendam air yang meluap tinggi. Begitulah, sangat tidak praktis.
Sering dihadapkan dengan masalah semacam ini, bapak sudah terbiasa mengotak-atik sendiri sambungan pipa dan pompa air tanpa bantuan tukang. Bapak mematikan saluran listrik rumah sebelum merakit kabel yang harus dipasang sehubungan dengan pompa air yang dinaikkan. Semua baik-baik saja dan sesuai perhitungan. Semuanya sungguh baik-baik saja.
“Mbak, mati lampu ya? Adek ingin nonton TV,” suara adik bungsuku merengek padaku.
Kukatakan padanya untuk bersabar. Aku pergi menengok ke arah sumur. Bapak yang sedari tadi mengerjakan sambungan pipa dan pompa air sudah tidak berada di sana. Kulihat pompa air telah selesai dinaikkan, artinya pekerjaan bapak sudah selesai. Aku beranjak ke teras depan rumah, menemukan dan menekan tombol pada sekring untuk menyalakan listrik yang tadi dipadamkan oleh bapak. Aku mengajak kedua adikku menonton televisi bersama-sama di ruang keluarga. Dan lagi, semuanya sungguh masih baik-baik saja.
Belum saja sepuluh menit berlalu, terdengar jeritan yang begitu memekakkan telinga dari arah sumur. Suara yang sangat kukenal. Suara ibuku. Suara ibu kami. Suara yang biasanya begitu lemah lembut tiba-tiba berteriak sangat memekakkan telinga. Aku dan kedua adikku bergegas berlari menuju sumur untuk melihat apa terjadi. Aku melihat ibu di sana. Aku sangat panik. Dalam kepanikanku, aku tahu semuanya tak lagi baik-baik saja.
“IBU!” Aku dan kedua adikku yang tidak tahu apa-apa bergegas mendekati ibu sambil menangis tak karuan.
“JANGAN PEGANG IBU!!!” teriak ibu pada kami. “PERGI!!!” Lagi-lagi ibu berteriak pada kami. Ibu tampak berdiri kaku di hadapan kami. Tubuhnya mengejang.  Aku dan kedua adik perempuanku terpaku melihat ibu berdiri di sana. Kami menangis histeris. Bapak yang juga baru saja muncul setelah berlari akibat mendengar teriakan ibu turut panik melihat apa yang terjadi.
Sekali lagi ibu berteriak, “SEKRING!” Mendengar itu, bapak kembali bergegas berlari, menuju teras depan untuk mematikan tombol sekring.
Di hadapanku dan kedua adikku, tubuh ibu yang tadi kaku dan kejang tiba-tiba terpental sejauh lima meter ke belakang. Dapat kudengar bunyi ‘duk’ yang sangat keras. Kepala ibu membentur dinding rumah kami. Ibu tidak sadarkan diri. Aku dan adik-adikku menangis semakin keras. Bapak yang kembali dari teras depan bergegas mendatangi ibu dan menggendongnya ke dalam kamar. Tidak lama berselang, aku sudah dapat melihat banyak tetangga yang datang ke rumah kami. Tentu saja, teriakan ibu yang begitu keras, menggaung hingga seluruh warga kampung yang mendengarnya berbondong-bondong keluar dari rumahnya masing-masing, menuju rumah kami, bertanya-tanya apa yang terjadi. Waktu itu, untuk pertama kalinya aku melihat bapak menangis. Dalam keadaan panik dan menangis bapak memohon, meminta bantuan, “Tolong, istri saya kesetrum!”
***
Tidak banyak yang bisa kulakukan waktu itu. Aku hanya menangis sembari memeluk kedua adikku yang juga tak henti-hentinya menangis. Ibu terbaring di tempat tidurnya. Hatiku semakin tidak karuan ketika mengetahui tidak ada dokter di manapun. Bapak kesulitan menemukan seorang dokter. Selain karena tempat tinggal kami yang berlokasi di wilayah terpencil, beberapa dokter yang ada pun telah meninggalkan kampung untuk melakukan perjalanan mudik hari raya. Hatiku begitu perih melihat ibu yang tidak berdaya di atas tempat tidurnya. Semua ini salahku. Aku yang menyalakan sekring tanpa ijin. Aku yang menyebabkan ibu tersengat listrik. Aku yang menyebabkan ibu begini. Tak henti-hentinya aku menangis dan mengutuki diriku sendiri.
Beruntungnya, bapak berhasil menelepon dan memohon kepada seorang dokter yang begitu baik hati untuk kembali dari perjalanan mudiknya. Dokter itu memeriksa ibu dan mengatakan ibu mengalami cidera kepala akibat benturan yang sangat keras. Jantung ibupun mengalami gangguan akibat sengatan aliran arus listrik yang begitu kuat. Begitu banyak obat-obatan yang diresepkan. Belasan ampul berisi beragam jenis obat disuntikkan pada tubuh ibu secara bersamaan. Aku semakin menangis.
 Hari lebaran yang biasanya kami lalui dengan penuh suka cita, kali ini begitu kelam dan menyedihkan. Setelah selama tiga hari ibu tidak sadar total, akhirnya ibu perlahan mulai sadarkan diri, namun tidak mampu membuka matanya. Di sampingnya aku menangis, menggenggam tangannya dan mengatakan, “Maafkan Nduk, Bu. Nduk yang menyalakan sekringnya. Maaf, Bu.”
Ibu merespon dengan meremas lembut tanganku sembari mendesis dengan lembut pula, “Shhh.”
Aku tahu, ibu tidak pernah sekalipun marah atau menyalahkan aku. Mengetahui hal itu justru membuatku semakin merasa bersalah.
***
Aku membuka mataku perlahan. Tubuhku masih sangat sakit. Aku bisa merasakan bajuku basah kuyup oleh keringat dan darahku sendiri. Kenanganku akan peristiwa tersetrumnya ibu mulai melayang. Secara aneh kini justru rumus-rumus fisika yang menghinggap di pikiranku.
Simbol untuk daya listrik adalah P, power. Simbol untuk tegangan listrik adalah V, voltage. Simbol untuk arus listrik adalah I, current intensity. P sama dengan V dikalikan I. Aneh, kenapa sekarang aku malah mulai mengingat hal seperti ini. Tiba-tiba aku juga mengingat kutipan di buku fisika SMA-ku, ‘Perlu dicatat bahwa yang membahayakan bukanlah tegangan listrik melainkan aliran arus listrik. Walaupun tegangannya tinggi, bisa saja tidak membahayakan asalkan arusnya sangat kecil.’ Ya, arus listriklah yang membahayakan. Kenangan akan ibu yang tersengat listrik muncul kembali. Berapakah arus listrik yang mengalir ke tubuh ibu? Waktu itu, tubuh ibu tak sanggup lagi melepas penghantar listrik. Tubuhnya kaku, kejang, tak berdaya. Itu artinya arus listrik cukup besar berkisar 15-20 mA atau bahkan lebih?
Aku kembali menangis. Bagaimana bisa seseorang yang sedang tersengat listrik dengan arus begitu besar mampu menyadari bahwa sentuhan kulit dapat menjadi penghantar listrik? Bagaimana bisa seseorang yang sedang tersengat listrik dengan arus begitu besar mampu mencegah ketiga putrinya agar tidak turut ikut tersengat arus listrik pula? Bagaimana bisa seseorang yang sedang tersengat listrik dengan arus begitu besar mampu melindungi ketiga putrinya? Hanya ibu, hanya seorang ibu yang mampu. Kini semakin kusadari, dalam keadaan sesulit apapun, keadaan sangat terjepit atau bahkan keadaan paling mustahil sekalipun, ibu akan selalu ada untuk mencintai dan melindungi anak-anaknya. Ibuku akan selalu ada untuk mencintai dan melindungiku.
***
Gawat janin! Gawat janin!
Apa lagi sekarang? Setelah rumus-rumus fisika, kini istilah-istilah maternitas yang muncul di kepalaku? Ibunya keletihan, gawat janin! Ah, ternyata bukan di kepalaku. Orang-orang yang berada di sekitarku yang meneriakkan istilah gawat janin. Kenapa mereka berteriak-teriak?
“Nduk, bangun, Nduk!”
Kulihat ibu berdiri di sampingku, menggoncang-goncangkan tubuhku dengan tangan lembutnya. Ibu menangis, aku berusaha menoleh dan hanya melihatnya dengan lemah.
“Bangun Nduk! Kamu harus kuat!”
Aku turut menangis melihat ibuku menangis.
“Kamu harus bangun untuk anakmu!”
Ya, aku ingat. Waktu itu, saat tragedi kesetrum itu, ibu berusaha bertahan demi aku. Sekarang giliran aku harus bertahan demi anakku. Aku harus bangun untuk anakku! Aku berusaha mengumpulkan kesadaran dan tenagaku. Orang-orang di sekelilingku berusaha memanduku, tapi hanya suara ibuku yang terdengar.
“Ayo Nduk, tarik napas panjang lalu dorong! Ibu tahu kamu pasti bisa! Demi anakmu!”
Aku mengikuti nasehat ibu. Aku menarik napas panjang dan mendorong sekuat tenaga. Ibu berjuang demi aku. Aku harus berjuang demi anakku. Kuulangi kalimat itu dalam benakku. Ibu berjuang demi aku. Aku harus berjuang demi anakku!
Setelah dua kali menarik napas panjang dan mendorong sekuat tenaga, terdengar suara tangisan yang begitu melegakan. Suara tangisan bayi mungilku. Bayi mungil yang langsung didekapkan tengkurap di atas dadaku oleh bidan yang membantu persalinanku. Ibu menangis sambil tersenyum di sampingku, menggenggam lembut tanganku. Aku melihat bayi mungilku bergerak-gerak di atas dadaku.
Aku menoleh pada ibu, kukatakan padanya dengan masih berurai air mata, “Ibu, terimakasih.”
Ibu merespon seperti dulu, meremas lembut tanganku sembari mendesis dengan lembut pula, “Shhh.”
Aku tahu, ibu tidak pernah sekalipun mengharapkan terimakasih atau balasan dariku atas segala cinta kasih yang ia berikan padaku. Mengetahui hal itu justru membuatku semakin merasa berterimakasih.
Kini aku juga telah menjadi seorang ibu. Satu tanganku masih berada dalam genggaman ibu sedangkan tanganku yang lain menggenggam tangan kecil bayi mungilku. Dalam hati aku berjanji pada diriku sendiri, pada ibuku juga pada bayiku, bahwa segala cinta, kasih sayang, pengorbanan dan perlindungan yang ibu curahkan kepadaku akan aku teruskan kepada anakku. Begitulah cinta kasih seorang ibu, akan terus hidup dan mengalir bagai estafet cinta yang tak berujung.
 
~ Karanganyar, 13 Januari 2014 ~

Catatan:
Cerpen ini dimuat dalam Buku Antologi Stronger Than Me (de Teens, 2014)

Minggu, 20 September 2015

Cerpen Horor



Pintu Ke-Seribu Lawang Sewu
Cerpen Rahaminta Bee

“Sekali saja kau melihat sosoknya dalam pantulan cermin, tidak akan ada lagi yang dapat melihat sosokmu”


Lawang sewu, gedung tua yang berada di pusat Kota Semarang. Salah satu gedung yang disebut-sebut paling angker di Kota Semarang bahkan di Indonesia. Meskipun terletak di pusat kota yang padat dan ramai, keadaan gedung yang kuno, gelap, kosong dan tak lagi digunakan secara operasional menunjang anggapan masyarakat mengenai keangkeran gedung ini. Namun bagiku yang telah mengamati dan mengagumi gedung ini sejak dulu, Lawang Sewu tidak lebih dari gedung megah dengan seni arsitekstur yang klasik, indah dan bersejarah.
Banyak rumor beredar seputar keangkeran gedung yang dibangun lebih dari satu abad yang lalu ini. Penampakan pocong, kuntilanak, genderuwo, dan yang paling terkenal adalah penampakan arwah noni-noni Belanda pernah dialami oleh orang-orang yang tidak sengaja melihatnya. Begitulah setidaknya anggapan orang-orang yang mengaku melihat langsung penampakan-penampakan yang terjadi. Aku tertawa saja mendengarnya.
Ada apa dengan arwah noni-noni Belanda di Lawang Sewu? Menurut, lagi-lagi yang disebut rumor, beredar kabar sering terjadi penampakan arwah noni-noni Belanda di koridor atau di bekas ruang dansa dalam gedung Lawang Sewu. Mereka sering menampakan diri di malam hari, menjinjing kepalanya yang terpenggal, menampakan wajah pucat berlumuran darah, rambut terurai panjang terseret hingga menyentuh lantai, tersenyum dengan seringai sinis, sungguh senyuman yang paling jelek dan mengerikan.
Lagi-lagi aku tertawa. Maksudku, bukan berarti aku meragukan penglihatan masyarakat yang mengaku menyaksikan sendiri penampakan mengerikan itu. Namun sebagai seorang gadis yang berdarah Belanda, aku tidak terima jika senyuman gadis-gadis bangsa kami disebut jelek dan mengerikan. Ayolah, kau tentu sependapat denganku, kan? Lihat saja artis-artis ibukota yang setidaknya memiliki setengah darah Belanda, atau kita lebih sering menyebutnya artis blasteran Indo, begitu laris manis di kancah hiburan negeri ini karena memang memiliki kecantikan yang menawan dengan khasnya sendiri. Kesimpulannya, kurasa masyarakat terlalu mengada-ada dan berlebihan dalam menggambarkan penampakan noni Belanda yang mereka lihat.
*
Arwah para noni Belanda yang disebut-sebut sering tampak gentayangan di Lawang Sewu diyakini merupakan arwah korban kekejaman tentara Jepang di era penjajahan Jepang atas Indonesia. Tentara Jepang ini masuk menyerbu gedung yang sebelumnya merupakan kantor perkereta-apian yang dikelola pemerintah kolonial Belanda dan menjadikan gedung ini sebagai basis kekuasaan mereka. Kala itu, gedung ini juga dijadikan oleh tentara Jepang sebagai tempat eksekusi tentara Belanda maupun pejuang Indonesia. Pada masa itu pula, gedung ini menjadi saksi betapa kejamnya perbuatan dilakukan tentara Jepang terhadap noni-noni Belanda. Tentara Jepang melakukan pemerkosaan secara brutal terhadap para noni Belanda dan setelah puas menyalurkan hasratnya, para tentara Jepang memenggal kepala noni tersebut. Begitu yang sering kudengar dari penjelasan para tour guide yang memandu para wisatawan mengunjungi gedung ini setelah gedung Lawang Sewu dibuka secara umum sebagai objek wisata Kota Semarang. Kali ini aku tidak tertawa, aku selalu merasa begitu miris setiap mendengar cerita bagian ini.
*
Tanggapan mengenai rumor keangkeran Lawang Sewu rupanya tidak sama bagi semua orang. Banyak orang yang merasa ketakutan dengan rumor-rumor keangkeran Lawang Sewu, tapi ada juga beberapa yang menanggapinya hanya dengan tertawa seperti aku. Dia adalah Bella, gadis dengan nama yang cantik untuk ukuran kaum pribumi. Maaf jika aku menyebutnya dengan kurang hormat. Sejak kecil aku tidak dibiasakan untuk menyukai ataupun bertoleransi dengan penduduk asli Nusantara. Well, aku memang terlahir dan dibesarkan di negeri ini. Namun, berasal dari keluarga keturunan Belanda yang kolot membuatku terkadang masih mempertahankan kekolotan yang orangtuaku turunkan padaku. Orangtuaku hanya mengijinkan dan membiasakan aku bergaul serta bersekolah di sekolah-sekolah khusus untuk kalangan elit kami, tentunya kalangan yang terdiri orang-orang dari bangsa kami sendiri atau bangsa Eropa lain yang tinggal di negeri ini. Jadi maklum saja, walaupun sekarang orang lain mengatakan jaman telah berubah atau Indonesia telah lama merdeka, bagiku memiliki darah Belanda tetap masih jauh lebih bernilai dan elit dibanding mereka kaum pribumi.
Aku yang tumbuh menjadi seorang yang bisa dibilang memiliki sifat sangat sovinis, hampir tidak pernah memberi penilaian positif atau pujian pada mereka yang kusebut kaum pribumi. Tapi kali ini, khusus untuk kali ini saja, kuakui Bella memang cukup cantik untuk menyandang nama yang memiliki arti kata cantik tersebut, nama panggilan yang sama sebagaimana aku disapa dari namaku, Bellatrice.
Bella adalah satu-satunya gadis dari kaum pribumi, yang tidak pernah sekalipun terlintas dalam benakku, akan memberikan pengaruh yang begitu besar dalam kehidupanku sekarang. Dengan mengesampingkan keangkuhan dan rasa ketidaksukaanku padanya, kuakui dia memiliki wajah yang begitu menarik dan mempesona. Kesan pertama yang kulihat dari penampilannya adalah gadis dinamis yang penuh rasa percaya diri. Gadis pribumi berpendidikan, yang di masa penjajahan kolonial Belanda dulu tentu sulit untuk ditemukan. Gadis sombong berasal dari keluarga dengan status sosial yang cukup tinggi yang selalu memanjakannya, yang menjadikannya arogan karena terbiasa selalu mendapatkan apa yang diinginkan. Kenyataannya tebakanku tepat. Entah bagaimana, aku dapat menilainya secara tepat karena aku merasa dia memiliki banyak kemiripan denganku. Bagiku, karakternya itu tidaklah sulit untuk ditiru atau diperankan.
Bella adalah tipikal gadis yang tidak kusuka, tapi aku cukup beruntung bertemu dengannya satu tahun yang lalu. Waktu itu, dia bersama delapan teman perempuannya, yang sekarang tentunya menjadi koleksi teman-teman pribumiku, mengunjungi gedung Lawang Sewu dengan penuh keberanian. Aku masih ingat waktu pertama kali gadis-gadis ini mendatangi Lawang Sewu dengan penuh semangat dan rasa penasaran. Nampaknya mereka adalah kumpulan mahasiswi baru yang bukan merupakan warga asli Semarang dan baru pertama kali mengunjungi Lawang Sewu. Gadis-gadis ini tampaknya telah mendengar rumor-rumor keangkeran Lawang Sewu dan penasaran ingin membuktikannya sendiri. Hal ini terlihat dari keberanian mereka memilih mengunjungi Lawang Sewu yang terbuka untuk umum selama dua puluh empat jam non-stop justru pada malam hari.
Waktu itu, pukul sebelas malam mereka memulai perjalanan wisata mengelilingi gedung dipandu oleh Aldo, tour guide termuda dan paling tampan di antara yang lainnya. Meskipun Aldo jauh lebih muda dariku, perbedaan usia tidak membuat pesonanya berkurang sehingga aku berhenti untuk menyukainya. Ya, sudah sejak lama aku naksir pada Aldo. Itulah sebabnya, aku selalu berusaha meluangkan waktuku untuk mendampingi Aldo ketika melakukan tugas sebagai tour guide, terutama di malam hari. Aku begitu senang karena seakan perasaanku terbalas, Aldo tidak pernah mengatakan bosan atau keberatan untuk selalu kudampingi.
Seperti biasanya, sebelum memulai perjalanan, Aldo akan menjelaskan peraturan standar selama di dalam gedung seperti senantiasa bersama, menjaga sikap, bergandengan tangan dan berdoa. Aldo juga menjelaskan tiga larangan yang tidak boleh dilanggar selama di dalam gedung. Gadis-gadis ini tampak terdiam dan mendengarkan dengan seksama. Yah, seperti halnya denganku, gadis-gadis ini merasa larangan tidak boleh melakukan sesuatu memang lebih menarik dibanding anjuran untuk melakukan sesuatu.
“Pertama,” Aldo mulai menyebutkan larangan pertama dengan suara lirih dan nada penuh misteri, “tidak boleh bugil.” Gadis-gadis itu sontak tertawa, begitu juga denganku. Aku selalu suka dengan cara Aldo menyebutkan larangan-larangan ini.
“Aih, siapa juga yang mau bugil di sini,” komentar Bella dengan sinis. Sungguh, aku tidak suka cara bicara makhluk ini di depan Aldo-ku. Cih.
“Baik kita lanjut ke larangan kedua,” Aldo melanjutkan. “Tidak boleh melakukan seks di sini.” Gadis-gadis ini makin tertawa keras.
“Hah, ada-ada saja. Apa ada orang bodoh yang mau melakukannya di tempat semacam ini?” komentar sinis Bella lagi. Aku semakin kesal dengan cara bicaranya pada Aldo. Aldo hanya diam saja menunggu gadis-gadis ini berhenti tertawa untuk melanjutkan larangan ketiga.
“Oke, apa larangan ketiga? Striptease?” ejek Bella dengan nada mencemooh disambut tawa teman-temannya.
“Lancangnya kau!” teriakku. Aku benar-benar kesal pada gadis lancang ini. Aldo diam saja, hanya tersenyum manis, menunggu suasana tenang untuk menyampaikan larangan yang ketiga.
“Hmm, sebenarnya itu juga dilarang, tapi kurasa itu sudah termasuk dari larangan pertama. Bukan itu yang kumaksud.” Aldo melanjutkan, “Larangan ketiga hanya dilarang untuk dilakukan di malam hari seperti sekarang ini. Larangan ketiga adalah...” Gadis-gadis itu kini terdiam, mendengar dengan penasaran.
“Tidak boleh melihat ke dalam cermin.” kataku dan Aldo secara serempak. Aku sudah hafal benar dengan kalimat Aldo ini. Dapat mengucapkannya bersamaan seperti ini selalu mendatangkan kepuasan bagi diriku.
“Kenapa? Kenapa?” Gadis-gadis itu bertanya dengan penuh rasa penasaran.
“Dari tiga larangan tadi, cuma yang ketiga yang membuat kalian ingin tahu alasannya? Kalian tidak penasaran kenapa tidak boleh bugil atau melakukan seks di sini?” goda Aldo. Ah, senyuman Aldo begitu manis.
“Alih-alih menjawab pertanyaan malah mengalihkan pembicaraan. Memang karena tidak beralasan kan? Karena kau hanya mengarang larangan-larangan konyol tadi.” Komentar pedas Bella memecah lamunanku akan manisnya senyuman Aldo.
Mataku terbelalak. Kurang ajar sekali gadis sombong ini! Rasanya hampir saja aku ingin mengosongkan tanganku, melemparkan apa yang kubawa sejak tadi ke wajahnya dan mencengkeramkan jari-jariku ke leher gadis sombong ini, mencekiknya tanpa ampun. Namun seolah ingin menghentikanku, Aldo buru-buru menjelaskan, “Karena sekali saja kau melihat sosoknya dalam pantulan cermin, tidak akan ada lagi yang dapat melihat sosokmu.” Semua orang terdiam. Aku dapat melihat gadis-gadis ini sedikit merinding mendengar alasan yang disampaikan Aldo.
Suasana masih senyap. Berbekal satu lampu senter, Aldo mulai mengajak rombongan ini berkeliling melintasi koridor dan ruangan yang hanya memiliki penerangan remang-remang. Sesekali Aldo berhenti dan menjelaskan tempat-tempat yang dilewati, menceritakan sejarah dan kisah yang berhubungan dengan setiap ruang yang ada. Aku mendengarkan penjelasan Aldo dengan seksama. Gadis-gadis ini hanya berdiri berdempet-dempetan, saling bergandengan lengan, benar-benar tak bernyali, kecuali Bella. Entah apa yang dipikirkannya, tapi yang kulihat tampaknya dia tidak percaya pada hal-hal yang berbau mistis atau angker. Sesekali dia melontarkan pertanyaan yang menyudutkan Aldo, bahwa yang dikatakan Aldo hanyalah bualan. “Biarkan saja gadis sombong ini,” bisikku pada Aldo.
Aldo kembali memandu perjalanan ke ruangan yang lain. Sesekali kami berpapasan dengan rombongan pengunjung lain yang dipandu tour guide yang lain. Sesekali aku bertemu dengan teman-temanku, menanggapi godaan mereka yang menertawakan aku yang terus mengekor Aldo.
“Apa benar pintu di gedung ini mencapai seribu pintu, sampai-sampai gedung ini dinamai Lawang Sewu?” Bella bertanya pada Aldo dengan nada menantang, menguji apa kira-kira bualan Aldo selanjutnya.
Aldo menjelaskan. “Masyarakat setempat menyebut bangunan ini Lawang Sewu yang memiliki arti Seribu Pintu memang karena bangunan ini memiliki pintu yang sangat banyak.” Aldo menunjuk pintu-pintu dengan sorot lampu senter sembari melanjutkan penjelasannya. “Namun kenyataannya, dari berbagai pengalaman para wisatawan baik lokal maupun mancanegara yang mencoba menghitung jumlah pintu selalu tidak akan menemukan jumlah sampai seribu pintu atau seribu lawang.”
“Tentunya karena mereka tidak bisa menghitung pintu yang tidak bisa mereka lihat,” tambahku lirih. “Pintu satu arah yang tidak akan mengijinkan siapapun kembali,” ucapku pada diri sendiri. Tidak ada yang menggubris ucapanku. Aldo mengajak rombongan menelusuri ruang yang lainnya.
Rombongan kami yang dipandu Aldo akhirnya sampai di ruangan kosong yang begitu luas. Aldo menjelaskan bahwa ruang ini dulu digunakan sebagai ruang dansa para bangsawan dan pejabat Belanda. Aku menutup mataku. Aku bisa membayangkan sebuah ball room yang dulu begitu megah dan indah, dipenuhi semerbak wangi aroma parfum para bangsawan bercampur aroma asap cerutu yang khas, teralun bunyi instrumen musik klasik untuk iringan berdansa yang dimainkan para pemusik dari sudut ruangan, terdengar tawa cekikikan gadis-gadis Belanda bergaun mewah mendengarkan candaan ala bangsawan sambil menikmati segelas rum merah. Kini ruang dansa telah berubah menjadi ruangan kosong, gelap dan berdebu. Tidak ada lagi perabotan-perabotan mewah yang dulu tertata rapi di dalamnya. Hanya tertinggal sebuah cermin antik berfigura kayu jati berukir yang tergantung di salah satu sisi dinding bagian tengah.
“Silahkan kalau ingin melihat-lihat dulu.” Suara Aldo terdengar menggema di ruang ini. Pandangan gadis-gadis ini tertuju pada cermin yang menggantung di dinding. Cermin tersebut tampak mencolok dengan ukuran setinggi orang dewasa dan lebar kurang lebih satu meter. Sebuah cermin antik yang entah kanapa terlihat sangat serasi menggantung di salah satu sisi dinding ruang dansa gedung Lawang Sewu ini.
“Itu cermin yang tidak boleh dilihat? Mana? Kita semua melihatnya, terjadi sesuatu?” tanya Bella dengan sinis.
“Kalau melihat cermin saja tidak masalah, tapi tidak untuk bercermin. Kau tentu tahu kan perbedaan antara melihat cermin dan bercermin?” jawab Aldo santai.
Bisa kulihat Bella tidak puas dengan jawaban Aldo. Bella memiliki kesamaan karakter denganku, dari persamaan sifat kami, aku langsung tahu dengan jelas bahwa Bella justru merasa tertantang untuk bercermin ketika dilarang.
Perlahan, ketika perhatian Aldo sedang teralih untuk membantu rombongan gadis-gadis itu sibuk berfoto ria, Bella menjauhi rombongan, mendekat ke arah cermin dan berdiri menghadap ke arah cermin. Aldo yang melihatnya segera berteriak melarang Bella, tapi terlambat. Bella terlalu jauh untuk dihentikan.
Tiba-tiba saja Lawang Sewu gelap total. Gadis-gadis ini berteriak histeris saling merapat. Terdengar pula teriakan para pengunjung yang sedang berkeliling dari berbagai sisi gedung yang lain. Aldo berusaha menenangkan gadis-gadis yang histeris di sampingnya. Aldo mencoba mengotak-atik senternya yang tiba-tiba secara misterius juga tidak dapat dinyalakan.
Di tengah ball room, tidak terdengar apapun. Bella tampak berdiri syok tak bersuara. Aku berada di sampingnya. Sebelum seluruh lampu padam, ia sempat melihat pantulan bayangan paling mengerikan yang pernah ia saksikan dari dalam cermin. Pemandangan yang paling ia sesali untuk dilihat. Pemandangan paling mengerikan sesuai dengan rumor yang beredar di antara masyarakat. Pantulan bayangan sosok perempuan tanpa kepala dengan lumuran darah di sekitar leher dan gaun putihnya. Sosok tersebut mendekap kepalanya yang putus dengan kedua tangannya di depan perut. Kepala tersebut berambut pirang tergerai panjang hingga menyentuh lantai, dengan wajah putih pucat dan mata gelap menatap tajam tanpa ekspresi. Wajah tanpa ekspresi tersebut mendadak berubah menjadi senyuman sinis, senyuman paling mengerikan, dengan seringai tajam, menarik kedua ujung bibir menyipit membelah pipi mencapai telinga. Bella terjatuh pingsan.
Beberapa saat kemudian, para petugas di Lawang Sewu berhasil menyalakan penerangan di seluruh area gedung. Secara misterius pula senter Aldo kembali menyala. Gadis-gadis itu berkerumun, berlari mendekatiku dengan penuh cemas dan ketakutan, menghujaniku dengan banyak pertanyaan. “Bella, kau tak apa-apa?! Sedang apa sih?! Kenapa memisahkan diri? Jangan jauh-jauh dari rombongan!” 
Aldo meraih tanganku untuk pertama kalinya, membantuku bangun dari posisi dudukku. Kukatakan pada teman-teman baruku itu, “Aku baik-baik saja. Ayo kita lanjutkan perjalanan.” Kuberikan senyuman terbaikku pada Aldo yang masih menggenggam tanganku. 
Kami beranjak meninggalkan ruangan. Sebelum benar-benar meninggalkan ball room, aku sempatkan melihat cermin antik berfigura ukiran kayu jati tadi. Dari balik pantulan cermin dapat kulihat sosok bayangan terjebak, meronta meminta tolong, berteriak histeris, menangis tak terkendali namun tidak ada yang mendengarnya. Kukatakan padanya dengan sinis, “Apa kau tidak menyimak? Sekali saja kau melihat sosokku dalam pantulan cermin, tidak akan ada lagi yang dapat melihat sosokmu.” Aku berlalu meninggalkan ball room dengan tubuh baruku yang utuh.

~ Karanganyar, Desember 2013 ~