Senin, 21 Desember 2015

#EverlastingWoman



Estafet Cinta Tak Berujung
Cerpen Rahaminta Bee

“JANGAN PEGANG IBU!!!” teriak ibu pada kami, ketiga putri kecilnya. Teriakan ibu yang begitu keras, menggaung hingga seluruh warga kampung dalam radius dua ratus meter keluar dari rumahnya masing-masing, bertanya-tanya ‘ada apakah gerangan?’ Aku dan kedua adik perempuanku syok, terpaku melihat ibu berdiri di sana. Kami menangis sejadinya, tangisan histeris yang terdengar tidak kalah keras dengan teriakan ibu.
Aneh. Mengapa dari sekian banyak peristiwa yang aku alami justru kenangan itu yang terbayang di pikiranku sekarang ini? Peristiwa yang terjadi belasan tahun yang lalu, namun terasa seperti baru terjadi kemarin. Oh Tuhan, mengingat kembali peristiwa itu membuat tubuhku yang sedang begitu kesakitan ini semakin terasa sakit. Aku menggenggam erat ujung bantal yang menopang kepalaku. Tubuhku begitu sakit. Peristiwa itu semakin jelas terbayang di benakku.
***
Dia adalah Astuti, ibuku, ibu kami. Aku dapat membayangkan wajahnya yang tersenyum lembut padaku. Sebenarnya, dia adalah seorang perempuan dengan wajah yang biasa saja. Dia tidak memiliki hidung mancung, bulu mata lentik, gigi yang rapi ataupun kulit kencang tanpa keriput. Tidak, tidak. Dia juga tidak mengenakan pakaian mahal, modis ataupun bermerek. Tidak ada perhiasan yang menghiasi tubuhnya, barang sekedar anting ataupun cincin kawin. Tidak, tidak ada. Bahkan selama ini, kotak rias yang dimilikinya hanya berisi sebuah bedak dengan spons yang telah rombeng serta sebuah lipstik untuk memoles tipis bibirnya. Tidak ada eye shadow, blush on, maskara atau sekedar losion tubuh. Tidak, tidak ada. Namun, tidak dibutuhkan itu semua untuk membuatnya terlihat mempesona. Kecantikkan hatinya menjelaskan semua pesona, keanggunan, dan kejelitaan yang terpancar di balik penampilannya yang biasa saja. Seorang perempuan sederhana, namun memiliki keteguhan hati yang luar biasa. Dia adalah ibuku, ibu kami.
Sejak dulu, ibu memang dapat dikatakan terlihat seperti wanita acuh tak acuh pada penampilan. Tapi aku tahu, hal itu bukan karena ibu tak peduli, melainkan lebih karena ibu tidak terbiasa untuk menyempatkan diri bahkan hanya untuk sekedar memikirkannya. Terlahir sebagai putri sulung dari sepuluh bersaudara membuat ibu mengemban tanggung jawab lebih besar dibanding perempuan lain. Terlebih lagi karena keadaan ekonomi keluarga ibu dulu memang sangat memprihatinkan. Kakek yang dulu merupakan pensiunan tentara veteran bekerja sebagai buruh tani di lahan orang, sedangkan nenek sibuk merawat anak orang lain sebagai pengasuh yang memungkinkannya pulang ke rumah hanya dua kali dalam sebulan. Begitulah, ibuku nyaris berperan sebagai ibu bagi adik-adiknya di usianya yang masih sangat belia. Posisi yang sama denganku sebagai kakak sulung bagi adik-adikku, namun peran yang tidak sanggup aku lakukan untuk menggantikannya sebagai ibu bagi adik-adikku. Maka dari itu, hatiku begitu hancur melihatnya berdiri di sana meneriaki kami untuk pergi menjauh, tanpa dapat berbuat apapun.
***
Aku masih ingat dengan jelas, saat itu Ramadhan tahun 1419 H atau sekitar bulan Januari 1999. Tidak ada yang berbeda dari waktu-waktu biasanya. Sebagaimana wilayah Indonesia pada umumnya, pada bulan Januari, kampung tempat tinggal kami mengalami musim penghujan dan sebagaimana warga beragama Islam pada umumnya, Januari yang bertepatan dengan bulan Ramadhan ini menjadi saat-saat yang bahagia bagi keluarga kami.
Waktu itu, hanya tiga hari menjelang Hari Raya Idul Fitri, menjelang hari yang penuh kemenangan dan kegembiraan bagi kaum Muslimin. Hari yang dinantikan oleh seluruh umat Islam di dunia, namun menjadi hari paling berduka bagi keluarga kami. Seluruh anggota keluarga berkumpul, namun tidak ada tawa, canda ataupun semangat menyambut hari raya. Tidak ada yang salah sebelumnya. Sungguh, semua baik-baik saja. Tidak terbesit sedikit pun dalam benakku bahwa hanya dibutuhkan waktu beberapa detik untuk mengubah keadaan yang baik-baik saja itu menjadi sebuah tragedi.
Berawal pada sebuah pagi yang mendung seperti hari-hari sebelumnya. Selama beberapa hari itu, hujan terus mengguyur kampung kami. Namun mendung hitam di pagi hari itu tidak sedikitpun mengusik semangat kami menyambut hari Lebaran. Sebagaimana keluarga Muslim lainnya, keluargaku yang terdiri dari bapak, ibu, aku yang masih duduk di bangku SMA serta kedua adik perempuanku yang masih SMP dan SD, mempersiapkan datangnya hari Lebaran yang telah kami nantikan dengan penuh suka cita. Bapak menyiapkan dan menata karpet-karpet besar di ruang tamu untuk menyambut tamu yang akan datang saat Lebaran nanti. Sedangkan aku dan adik-adikku membantu ibu menyiapkan masakan-masakan spesial ala lebaran seperti ketupat, opor, gulai serta cemilan-cemilan khas seperti kue semprit, nastar, castangel, dan putih salju. Semuanya benar-benar tampak sempurna.
Banyak  pekerjaan yang harus dilakukan waktu itu, terlebih lagi pada saat musim penghujan yang memang tidak pernah sepenuhnya bersahabat dengan rumah kami. Teras yang kotor akibat percikan lumpur, atap bocor, lantai basah, semua harus diselesaikan untuk mempersiapkan suasana Lebaran yang khidmat. Belum lagi masalah yang menjadi langganan ketika air tanah dalam sumur meluap akibat hujan deras, yaitu pompa air yang hampir terendam oleh air sumur.
Sumur rumah kami memang bisa dibilang jauh dari kata praktis. Sebuah sumur berbentuk lingkaran dengan diameter berukuran satu meter yang dibangun setinggi pinggang orang dewasa, dan memiliki kedalaman empat belas meter. Di dalamnya, terpasang mesin pompa air yang terhubung dengan pipa-pipa paralon, menghubungkan air dalam sumur menuju ke bak-bak penampungan air. Mesin pompa air yang terhubung dengan pipa-pipa paralon dipertahankan berada satu meter di atas permukaan air sumur karena daya sedot mesin pompa air yang kami gunakan memang tidak seberapa. Itu artinya, bila musim kemarau tiba yang menyebabkan air sumur surut, mesin pompa air akan diturunkan dengan menambah sambungan pipa paralon lagi di atasnya. Sedangkan pada musim penghujan seperti yang terjadi waktu itu, mesin pompa air harus dinaikkan agar tidak terendam air yang meluap tinggi. Begitulah, sangat tidak praktis.
Sering dihadapkan dengan masalah semacam ini, bapak sudah terbiasa mengotak-atik sendiri sambungan pipa dan pompa air tanpa bantuan tukang. Bapak mematikan saluran listrik rumah sebelum merakit kabel yang harus dipasang sehubungan dengan pompa air yang dinaikkan. Semua baik-baik saja dan sesuai perhitungan. Semuanya sungguh baik-baik saja.
“Mbak, mati lampu ya? Adek ingin nonton TV,” suara adik bungsuku merengek padaku.
Kukatakan padanya untuk bersabar. Aku pergi menengok ke arah sumur. Bapak yang sedari tadi mengerjakan sambungan pipa dan pompa air sudah tidak berada di sana. Kulihat pompa air telah selesai dinaikkan, artinya pekerjaan bapak sudah selesai. Aku beranjak ke teras depan rumah, menemukan dan menekan tombol pada sekring untuk menyalakan listrik yang tadi dipadamkan oleh bapak. Aku mengajak kedua adikku menonton televisi bersama-sama di ruang keluarga. Dan lagi, semuanya sungguh masih baik-baik saja.
Belum saja sepuluh menit berlalu, terdengar jeritan yang begitu memekakkan telinga dari arah sumur. Suara yang sangat kukenal. Suara ibuku. Suara ibu kami. Suara yang biasanya begitu lemah lembut tiba-tiba berteriak sangat memekakkan telinga. Aku dan kedua adikku bergegas berlari menuju sumur untuk melihat apa terjadi. Aku melihat ibu di sana. Aku sangat panik. Dalam kepanikanku, aku tahu semuanya tak lagi baik-baik saja.
“IBU!” Aku dan kedua adikku yang tidak tahu apa-apa bergegas mendekati ibu sambil menangis tak karuan.
“JANGAN PEGANG IBU!!!” teriak ibu pada kami. “PERGI!!!” Lagi-lagi ibu berteriak pada kami. Ibu tampak berdiri kaku di hadapan kami. Tubuhnya mengejang.  Aku dan kedua adik perempuanku terpaku melihat ibu berdiri di sana. Kami menangis histeris. Bapak yang juga baru saja muncul setelah berlari akibat mendengar teriakan ibu turut panik melihat apa yang terjadi.
Sekali lagi ibu berteriak, “SEKRING!” Mendengar itu, bapak kembali bergegas berlari, menuju teras depan untuk mematikan tombol sekring.
Di hadapanku dan kedua adikku, tubuh ibu yang tadi kaku dan kejang tiba-tiba terpental sejauh lima meter ke belakang. Dapat kudengar bunyi ‘duk’ yang sangat keras. Kepala ibu membentur dinding rumah kami. Ibu tidak sadarkan diri. Aku dan adik-adikku menangis semakin keras. Bapak yang kembali dari teras depan bergegas mendatangi ibu dan menggendongnya ke dalam kamar. Tidak lama berselang, aku sudah dapat melihat banyak tetangga yang datang ke rumah kami. Tentu saja, teriakan ibu yang begitu keras, menggaung hingga seluruh warga kampung yang mendengarnya berbondong-bondong keluar dari rumahnya masing-masing, menuju rumah kami, bertanya-tanya apa yang terjadi. Waktu itu, untuk pertama kalinya aku melihat bapak menangis. Dalam keadaan panik dan menangis bapak memohon, meminta bantuan, “Tolong, istri saya kesetrum!”
***
Tidak banyak yang bisa kulakukan waktu itu. Aku hanya menangis sembari memeluk kedua adikku yang juga tak henti-hentinya menangis. Ibu terbaring di tempat tidurnya. Hatiku semakin tidak karuan ketika mengetahui tidak ada dokter di manapun. Bapak kesulitan menemukan seorang dokter. Selain karena tempat tinggal kami yang berlokasi di wilayah terpencil, beberapa dokter yang ada pun telah meninggalkan kampung untuk melakukan perjalanan mudik hari raya. Hatiku begitu perih melihat ibu yang tidak berdaya di atas tempat tidurnya. Semua ini salahku. Aku yang menyalakan sekring tanpa ijin. Aku yang menyebabkan ibu tersengat listrik. Aku yang menyebabkan ibu begini. Tak henti-hentinya aku menangis dan mengutuki diriku sendiri.
Beruntungnya, bapak berhasil menelepon dan memohon kepada seorang dokter yang begitu baik hati untuk kembali dari perjalanan mudiknya. Dokter itu memeriksa ibu dan mengatakan ibu mengalami cidera kepala akibat benturan yang sangat keras. Jantung ibupun mengalami gangguan akibat sengatan aliran arus listrik yang begitu kuat. Begitu banyak obat-obatan yang diresepkan. Belasan ampul berisi beragam jenis obat disuntikkan pada tubuh ibu secara bersamaan. Aku semakin menangis.
 Hari lebaran yang biasanya kami lalui dengan penuh suka cita, kali ini begitu kelam dan menyedihkan. Setelah selama tiga hari ibu tidak sadar total, akhirnya ibu perlahan mulai sadarkan diri, namun tidak mampu membuka matanya. Di sampingnya aku menangis, menggenggam tangannya dan mengatakan, “Maafkan Nduk, Bu. Nduk yang menyalakan sekringnya. Maaf, Bu.”
Ibu merespon dengan meremas lembut tanganku sembari mendesis dengan lembut pula, “Shhh.”
Aku tahu, ibu tidak pernah sekalipun marah atau menyalahkan aku. Mengetahui hal itu justru membuatku semakin merasa bersalah.
***
Aku membuka mataku perlahan. Tubuhku masih sangat sakit. Aku bisa merasakan bajuku basah kuyup oleh keringat dan darahku sendiri. Kenanganku akan peristiwa tersetrumnya ibu mulai melayang. Secara aneh kini justru rumus-rumus fisika yang menghinggap di pikiranku.
Simbol untuk daya listrik adalah P, power. Simbol untuk tegangan listrik adalah V, voltage. Simbol untuk arus listrik adalah I, current intensity. P sama dengan V dikalikan I. Aneh, kenapa sekarang aku malah mulai mengingat hal seperti ini. Tiba-tiba aku juga mengingat kutipan di buku fisika SMA-ku, ‘Perlu dicatat bahwa yang membahayakan bukanlah tegangan listrik melainkan aliran arus listrik. Walaupun tegangannya tinggi, bisa saja tidak membahayakan asalkan arusnya sangat kecil.’ Ya, arus listriklah yang membahayakan. Kenangan akan ibu yang tersengat listrik muncul kembali. Berapakah arus listrik yang mengalir ke tubuh ibu? Waktu itu, tubuh ibu tak sanggup lagi melepas penghantar listrik. Tubuhnya kaku, kejang, tak berdaya. Itu artinya arus listrik cukup besar berkisar 15-20 mA atau bahkan lebih?
Aku kembali menangis. Bagaimana bisa seseorang yang sedang tersengat listrik dengan arus begitu besar mampu menyadari bahwa sentuhan kulit dapat menjadi penghantar listrik? Bagaimana bisa seseorang yang sedang tersengat listrik dengan arus begitu besar mampu mencegah ketiga putrinya agar tidak turut ikut tersengat arus listrik pula? Bagaimana bisa seseorang yang sedang tersengat listrik dengan arus begitu besar mampu melindungi ketiga putrinya? Hanya ibu, hanya seorang ibu yang mampu. Kini semakin kusadari, dalam keadaan sesulit apapun, keadaan sangat terjepit atau bahkan keadaan paling mustahil sekalipun, ibu akan selalu ada untuk mencintai dan melindungi anak-anaknya. Ibuku akan selalu ada untuk mencintai dan melindungiku.
***
Gawat janin! Gawat janin!
Apa lagi sekarang? Setelah rumus-rumus fisika, kini istilah-istilah maternitas yang muncul di kepalaku? Ibunya keletihan, gawat janin! Ah, ternyata bukan di kepalaku. Orang-orang yang berada di sekitarku yang meneriakkan istilah gawat janin. Kenapa mereka berteriak-teriak?
“Nduk, bangun, Nduk!”
Kulihat ibu berdiri di sampingku, menggoncang-goncangkan tubuhku dengan tangan lembutnya. Ibu menangis, aku berusaha menoleh dan hanya melihatnya dengan lemah.
“Bangun Nduk! Kamu harus kuat!”
Aku turut menangis melihat ibuku menangis.
“Kamu harus bangun untuk anakmu!”
Ya, aku ingat. Waktu itu, saat tragedi kesetrum itu, ibu berusaha bertahan demi aku. Sekarang giliran aku harus bertahan demi anakku. Aku harus bangun untuk anakku! Aku berusaha mengumpulkan kesadaran dan tenagaku. Orang-orang di sekelilingku berusaha memanduku, tapi hanya suara ibuku yang terdengar.
“Ayo Nduk, tarik napas panjang lalu dorong! Ibu tahu kamu pasti bisa! Demi anakmu!”
Aku mengikuti nasehat ibu. Aku menarik napas panjang dan mendorong sekuat tenaga. Ibu berjuang demi aku. Aku harus berjuang demi anakku. Kuulangi kalimat itu dalam benakku. Ibu berjuang demi aku. Aku harus berjuang demi anakku!
Setelah dua kali menarik napas panjang dan mendorong sekuat tenaga, terdengar suara tangisan yang begitu melegakan. Suara tangisan bayi mungilku. Bayi mungil yang langsung didekapkan tengkurap di atas dadaku oleh bidan yang membantu persalinanku. Ibu menangis sambil tersenyum di sampingku, menggenggam lembut tanganku. Aku melihat bayi mungilku bergerak-gerak di atas dadaku.
Aku menoleh pada ibu, kukatakan padanya dengan masih berurai air mata, “Ibu, terimakasih.”
Ibu merespon seperti dulu, meremas lembut tanganku sembari mendesis dengan lembut pula, “Shhh.”
Aku tahu, ibu tidak pernah sekalipun mengharapkan terimakasih atau balasan dariku atas segala cinta kasih yang ia berikan padaku. Mengetahui hal itu justru membuatku semakin merasa berterimakasih.
Kini aku juga telah menjadi seorang ibu. Satu tanganku masih berada dalam genggaman ibu sedangkan tanganku yang lain menggenggam tangan kecil bayi mungilku. Dalam hati aku berjanji pada diriku sendiri, pada ibuku juga pada bayiku, bahwa segala cinta, kasih sayang, pengorbanan dan perlindungan yang ibu curahkan kepadaku akan aku teruskan kepada anakku. Begitulah cinta kasih seorang ibu, akan terus hidup dan mengalir bagai estafet cinta yang tak berujung.
 
~ Karanganyar, 13 Januari 2014 ~

Catatan:
Cerpen ini dimuat dalam Buku Antologi Stronger Than Me (de Teens, 2014)