Estafet
Cinta Tak Berujung
Cerpen
Rahaminta Bee
“JANGAN PEGANG
IBU!!!” teriak ibu pada kami, ketiga putri kecilnya. Teriakan ibu yang begitu
keras, menggaung hingga seluruh warga kampung dalam radius dua ratus meter keluar dari rumahnya masing-masing,
bertanya-tanya ‘ada apakah gerangan?’ Aku dan kedua adik perempuanku syok,
terpaku melihat ibu berdiri di sana. Kami menangis sejadinya, tangisan histeris
yang terdengar tidak kalah keras dengan teriakan ibu.
Aneh. Mengapa
dari sekian banyak peristiwa yang aku alami justru kenangan itu yang terbayang
di pikiranku sekarang ini? Peristiwa yang terjadi belasan tahun yang lalu,
namun terasa seperti baru terjadi kemarin. Oh Tuhan, mengingat kembali
peristiwa itu membuat tubuhku yang sedang begitu kesakitan ini semakin terasa
sakit. Aku menggenggam erat ujung bantal yang menopang kepalaku. Tubuhku begitu
sakit. Peristiwa itu semakin jelas terbayang di benakku.
***
Dia adalah
Astuti, ibuku, ibu kami. Aku dapat membayangkan wajahnya yang tersenyum lembut
padaku. Sebenarnya, dia adalah seorang perempuan dengan wajah yang biasa saja.
Dia tidak memiliki hidung mancung, bulu mata lentik, gigi yang rapi ataupun
kulit kencang tanpa keriput. Tidak, tidak. Dia juga tidak mengenakan pakaian
mahal, modis ataupun bermerek.
Tidak ada perhiasan yang menghiasi tubuhnya, barang sekedar anting ataupun
cincin kawin. Tidak, tidak ada. Bahkan selama ini, kotak rias yang dimilikinya
hanya berisi sebuah bedak dengan spons yang
telah rombeng serta sebuah lipstik untuk memoles tipis bibirnya. Tidak ada eye shadow, blush on, maskara atau sekedar losion tubuh. Tidak, tidak ada. Namun,
tidak dibutuhkan itu semua untuk membuatnya terlihat mempesona. Kecantikkan
hatinya menjelaskan semua pesona, keanggunan, dan kejelitaan yang terpancar di balik
penampilannya yang biasa saja. Seorang perempuan sederhana, namun memiliki
keteguhan hati yang luar biasa. Dia adalah ibuku, ibu kami.
Sejak dulu, ibu
memang dapat dikatakan terlihat seperti wanita acuh tak acuh pada penampilan.
Tapi aku tahu, hal itu bukan karena ibu tak peduli, melainkan lebih karena ibu tidak
terbiasa untuk menyempatkan diri bahkan hanya untuk sekedar memikirkannya.
Terlahir sebagai putri sulung dari sepuluh bersaudara membuat ibu mengemban
tanggung jawab lebih besar dibanding perempuan lain. Terlebih lagi karena
keadaan ekonomi keluarga ibu dulu memang sangat memprihatinkan. Kakek yang dulu
merupakan pensiunan tentara veteran bekerja sebagai buruh tani di lahan orang,
sedangkan nenek sibuk merawat anak orang lain sebagai pengasuh yang
memungkinkannya pulang ke rumah hanya dua kali dalam sebulan. Begitulah, ibuku
nyaris berperan sebagai ibu bagi adik-adiknya di usianya yang masih sangat
belia. Posisi yang sama denganku sebagai kakak sulung bagi adik-adikku, namun
peran yang tidak sanggup aku lakukan untuk menggantikannya sebagai ibu bagi
adik-adikku. Maka dari itu, hatiku begitu hancur melihatnya berdiri di sana
meneriaki kami untuk pergi menjauh, tanpa dapat berbuat apapun.
***
Aku masih ingat
dengan jelas, saat itu Ramadhan tahun 1419 H atau sekitar bulan
Januari 1999. Tidak ada yang berbeda dari waktu-waktu biasanya. Sebagaimana
wilayah Indonesia pada umumnya, pada bulan Januari, kampung tempat tinggal kami
mengalami musim penghujan dan sebagaimana warga beragama Islam pada umumnya,
Januari yang bertepatan dengan bulan Ramadhan ini menjadi saat-saat yang
bahagia bagi keluarga kami.
Waktu itu, hanya
tiga hari menjelang Hari Raya Idul Fitri, menjelang hari yang penuh kemenangan
dan kegembiraan bagi kaum Muslimin. Hari yang dinantikan oleh seluruh umat
Islam di dunia, namun menjadi hari paling berduka bagi keluarga kami. Seluruh anggota
keluarga berkumpul, namun tidak ada tawa, canda ataupun semangat menyambut hari
raya. Tidak ada yang salah sebelumnya. Sungguh, semua baik-baik saja. Tidak
terbesit sedikit pun dalam benakku bahwa hanya dibutuhkan waktu beberapa detik untuk
mengubah keadaan yang baik-baik saja itu menjadi sebuah tragedi.
Berawal pada
sebuah pagi yang mendung seperti hari-hari sebelumnya. Selama beberapa hari
itu, hujan terus mengguyur kampung kami. Namun mendung hitam di pagi hari itu
tidak sedikitpun mengusik semangat kami menyambut hari Lebaran. Sebagaimana
keluarga Muslim lainnya, keluargaku yang terdiri dari bapak, ibu, aku yang
masih duduk di bangku SMA serta kedua adik perempuanku yang masih SMP dan SD,
mempersiapkan datangnya hari Lebaran yang telah kami nantikan dengan penuh suka
cita. Bapak menyiapkan dan menata karpet-karpet besar di ruang tamu untuk
menyambut tamu yang akan datang saat Lebaran nanti. Sedangkan aku dan
adik-adikku membantu ibu menyiapkan masakan-masakan spesial ala lebaran seperti
ketupat, opor, gulai serta cemilan-cemilan khas seperti kue semprit, nastar, castangel, dan putih salju. Semuanya
benar-benar tampak sempurna.
Banyak pekerjaan yang harus dilakukan waktu itu,
terlebih lagi pada saat musim penghujan yang memang tidak pernah sepenuhnya
bersahabat dengan rumah kami. Teras yang kotor akibat percikan lumpur, atap
bocor, lantai basah, semua harus diselesaikan untuk mempersiapkan suasana Lebaran
yang khidmat. Belum lagi masalah yang menjadi langganan ketika air tanah dalam
sumur meluap akibat hujan deras, yaitu pompa air yang hampir terendam oleh air
sumur.
Sumur rumah kami
memang bisa dibilang jauh dari kata praktis. Sebuah sumur berbentuk lingkaran
dengan diameter berukuran satu meter yang dibangun setinggi pinggang orang
dewasa, dan memiliki kedalaman empat belas meter. Di dalamnya, terpasang mesin
pompa air yang terhubung dengan pipa-pipa paralon, menghubungkan air dalam
sumur menuju ke bak-bak penampungan air. Mesin pompa air yang terhubung dengan
pipa-pipa paralon dipertahankan berada satu meter di atas permukaan air sumur
karena daya sedot mesin pompa air yang kami gunakan memang tidak seberapa. Itu
artinya, bila musim kemarau tiba yang menyebabkan air sumur surut, mesin pompa
air akan diturunkan dengan menambah sambungan pipa paralon lagi di atasnya.
Sedangkan pada musim penghujan seperti yang terjadi waktu itu, mesin pompa air
harus dinaikkan agar tidak terendam air yang meluap tinggi. Begitulah, sangat
tidak praktis.
Sering
dihadapkan dengan masalah semacam ini, bapak sudah terbiasa mengotak-atik
sendiri sambungan pipa dan pompa air tanpa bantuan tukang. Bapak mematikan
saluran listrik rumah sebelum merakit kabel yang harus dipasang sehubungan
dengan pompa air yang dinaikkan. Semua baik-baik saja dan sesuai perhitungan.
Semuanya sungguh baik-baik saja.
“Mbak, mati
lampu ya? Adek ingin nonton TV,” suara adik bungsuku merengek padaku.
Kukatakan
padanya untuk bersabar. Aku pergi menengok ke arah sumur. Bapak yang sedari
tadi mengerjakan sambungan pipa dan pompa air sudah tidak berada di sana.
Kulihat pompa air telah selesai dinaikkan, artinya pekerjaan bapak sudah
selesai. Aku beranjak ke teras depan rumah, menemukan dan menekan tombol pada sekring
untuk menyalakan listrik yang tadi dipadamkan oleh bapak. Aku mengajak kedua
adikku menonton televisi bersama-sama di ruang keluarga. Dan lagi, semuanya
sungguh masih baik-baik saja.
Belum saja
sepuluh menit berlalu, terdengar jeritan yang begitu memekakkan telinga dari
arah sumur. Suara yang sangat kukenal. Suara ibuku. Suara ibu kami. Suara yang
biasanya begitu lemah lembut tiba-tiba berteriak sangat memekakkan telinga. Aku
dan kedua adikku bergegas berlari menuju sumur untuk melihat apa terjadi. Aku
melihat ibu di sana. Aku sangat panik. Dalam kepanikanku, aku tahu semuanya tak
lagi baik-baik saja.
“IBU!” Aku dan
kedua adikku yang tidak tahu apa-apa bergegas mendekati ibu sambil menangis tak
karuan.
“JANGAN PEGANG
IBU!!!” teriak ibu pada kami. “PERGI!!!” Lagi-lagi ibu berteriak pada kami. Ibu
tampak berdiri kaku di hadapan kami. Tubuhnya mengejang. Aku dan kedua adik perempuanku terpaku
melihat ibu berdiri di sana. Kami menangis histeris. Bapak yang juga baru saja
muncul setelah berlari akibat mendengar teriakan ibu turut panik melihat apa
yang terjadi.
Sekali lagi ibu
berteriak, “SEKRING!” Mendengar itu, bapak kembali bergegas berlari, menuju
teras depan untuk mematikan tombol sekring.
Di hadapanku dan
kedua adikku, tubuh ibu yang tadi kaku dan kejang tiba-tiba terpental sejauh
lima meter ke belakang. Dapat kudengar bunyi ‘duk’ yang sangat keras. Kepala
ibu membentur dinding rumah kami. Ibu tidak sadarkan diri. Aku dan adik-adikku
menangis semakin keras. Bapak yang kembali dari teras depan bergegas mendatangi
ibu dan menggendongnya ke dalam kamar. Tidak lama berselang, aku sudah dapat
melihat banyak tetangga yang datang ke rumah kami. Tentu saja, teriakan ibu
yang begitu keras, menggaung hingga seluruh warga kampung yang mendengarnya
berbondong-bondong keluar dari rumahnya masing-masing, menuju rumah kami, bertanya-tanya
apa yang terjadi. Waktu itu, untuk pertama kalinya aku melihat bapak menangis.
Dalam keadaan panik dan menangis bapak memohon, meminta bantuan, “Tolong, istri
saya kesetrum!”
***
Tidak banyak
yang bisa kulakukan waktu itu. Aku hanya menangis sembari memeluk kedua adikku
yang juga tak henti-hentinya menangis. Ibu terbaring di tempat tidurnya. Hatiku
semakin tidak karuan ketika mengetahui tidak ada dokter di manapun. Bapak
kesulitan menemukan seorang dokter. Selain karena tempat tinggal kami yang
berlokasi di wilayah terpencil, beberapa dokter yang ada pun telah meninggalkan
kampung untuk melakukan perjalanan mudik hari raya. Hatiku begitu perih melihat
ibu yang tidak berdaya di atas tempat tidurnya. Semua ini salahku. Aku yang
menyalakan sekring tanpa ijin. Aku yang menyebabkan ibu tersengat listrik. Aku
yang menyebabkan ibu begini. Tak henti-hentinya aku menangis dan mengutuki
diriku sendiri.
Beruntungnya,
bapak berhasil menelepon dan memohon kepada seorang dokter yang begitu baik
hati untuk kembali dari perjalanan mudiknya. Dokter itu memeriksa ibu dan mengatakan
ibu mengalami cidera kepala akibat benturan yang sangat keras. Jantung ibupun
mengalami gangguan akibat sengatan aliran arus listrik yang begitu kuat. Begitu
banyak obat-obatan yang diresepkan. Belasan ampul berisi beragam jenis obat
disuntikkan pada tubuh ibu secara bersamaan. Aku semakin menangis.
Hari lebaran yang biasanya kami lalui dengan
penuh suka cita, kali ini begitu kelam dan menyedihkan. Setelah selama tiga
hari ibu tidak sadar total, akhirnya ibu perlahan mulai sadarkan diri, namun tidak
mampu membuka matanya. Di sampingnya aku menangis, menggenggam tangannya dan
mengatakan, “Maafkan Nduk, Bu. Nduk yang menyalakan sekringnya. Maaf, Bu.”
Ibu merespon
dengan meremas lembut tanganku sembari mendesis dengan lembut pula, “Shhh.”
Aku tahu, ibu
tidak pernah sekalipun marah atau menyalahkan aku. Mengetahui hal itu justru
membuatku semakin merasa bersalah.
***
Aku membuka
mataku perlahan. Tubuhku masih sangat sakit. Aku bisa merasakan bajuku basah
kuyup oleh keringat dan darahku sendiri. Kenanganku akan peristiwa tersetrumnya
ibu mulai melayang. Secara aneh kini justru rumus-rumus fisika yang menghinggap
di pikiranku.
Simbol untuk daya listrik adalah P, power. Simbol
untuk tegangan listrik adalah V, voltage. Simbol untuk arus listrik adalah I,
current intensity. P sama dengan V dikalikan I. Aneh,
kenapa sekarang aku malah mulai mengingat hal seperti ini. Tiba-tiba aku juga
mengingat kutipan di buku fisika SMA-ku, ‘Perlu
dicatat bahwa yang membahayakan bukanlah tegangan listrik melainkan aliran arus
listrik. Walaupun tegangannya tinggi, bisa saja tidak membahayakan asalkan
arusnya sangat kecil.’ Ya, arus listriklah yang membahayakan. Kenangan akan
ibu yang tersengat listrik muncul kembali. Berapakah arus listrik yang mengalir
ke tubuh ibu? Waktu itu, tubuh ibu tak sanggup lagi melepas penghantar listrik.
Tubuhnya kaku, kejang, tak berdaya. Itu artinya arus listrik cukup besar
berkisar 15-20 mA atau bahkan lebih?
Aku kembali
menangis. Bagaimana bisa seseorang yang sedang tersengat listrik dengan arus
begitu besar mampu menyadari bahwa sentuhan kulit dapat menjadi penghantar
listrik? Bagaimana bisa seseorang yang sedang tersengat listrik dengan arus
begitu besar mampu mencegah ketiga putrinya agar tidak turut ikut tersengat
arus listrik pula? Bagaimana bisa seseorang yang sedang tersengat listrik dengan
arus begitu besar mampu melindungi ketiga putrinya? Hanya ibu, hanya seorang
ibu yang mampu. Kini semakin kusadari, dalam keadaan sesulit apapun, keadaan sangat
terjepit atau bahkan keadaan paling mustahil sekalipun, ibu akan selalu ada
untuk mencintai dan melindungi anak-anaknya. Ibuku akan selalu ada untuk
mencintai dan melindungiku.
***
“Gawat
janin! Gawat janin!”
Apa lagi
sekarang? Setelah rumus-rumus fisika, kini istilah-istilah maternitas yang
muncul di kepalaku? Ibunya keletihan,
gawat janin! Ah, ternyata bukan di kepalaku. Orang-orang yang berada di
sekitarku yang meneriakkan istilah gawat
janin. Kenapa mereka berteriak-teriak?
“Nduk, bangun, Nduk!”
Kulihat ibu
berdiri di sampingku, menggoncang-goncangkan tubuhku dengan tangan lembutnya.
Ibu menangis, aku berusaha menoleh dan hanya melihatnya dengan lemah.
“Bangun Nduk!
Kamu harus kuat!”
Aku turut
menangis melihat ibuku menangis.
“Kamu harus
bangun untuk anakmu!”
Ya, aku ingat. Waktu
itu, saat tragedi kesetrum itu, ibu
berusaha bertahan demi aku. Sekarang giliran aku harus bertahan demi anakku. Aku harus bangun untuk anakku! Aku
berusaha mengumpulkan kesadaran dan tenagaku. Orang-orang di sekelilingku
berusaha memanduku, tapi hanya suara ibuku yang terdengar.
“Ayo Nduk, tarik
napas panjang lalu dorong! Ibu tahu kamu pasti bisa! Demi anakmu!”
Aku mengikuti
nasehat ibu. Aku menarik napas panjang dan mendorong sekuat tenaga. Ibu berjuang demi aku. Aku harus berjuang
demi anakku. Kuulangi kalimat itu dalam benakku. Ibu berjuang demi aku. Aku harus berjuang demi anakku!
Setelah dua kali
menarik napas panjang dan mendorong sekuat tenaga, terdengar suara tangisan yang
begitu melegakan. Suara tangisan bayi mungilku. Bayi mungil yang langsung didekapkan
tengkurap di atas dadaku oleh bidan yang membantu persalinanku. Ibu menangis
sambil tersenyum di sampingku, menggenggam lembut tanganku. Aku melihat bayi
mungilku bergerak-gerak di atas dadaku.
Aku menoleh pada
ibu, kukatakan padanya dengan masih berurai air mata, “Ibu, terimakasih.”
Ibu merespon
seperti dulu, meremas lembut tanganku sembari mendesis dengan lembut pula,
“Shhh.”
Aku tahu, ibu
tidak pernah sekalipun mengharapkan terimakasih atau balasan dariku atas segala
cinta kasih yang ia berikan padaku. Mengetahui hal itu justru membuatku semakin
merasa berterimakasih.
Kini aku juga
telah menjadi seorang ibu. Satu tanganku masih berada dalam genggaman ibu
sedangkan tanganku yang lain menggenggam tangan kecil bayi mungilku. Dalam hati
aku berjanji pada diriku sendiri, pada ibuku juga pada bayiku, bahwa segala
cinta, kasih sayang, pengorbanan dan perlindungan yang ibu curahkan kepadaku
akan aku teruskan kepada anakku. Begitulah cinta kasih seorang ibu, akan terus hidup
dan mengalir bagai estafet cinta yang tak berujung.
~
Karanganyar, 13 Januari 2014 ~
Catatan:
Cerpen ini dimuat dalam Buku Antologi Stronger Than Me (de Teens, 2014)