Pintu
Ke-Seribu Lawang Sewu
Cerpen Rahaminta Bee
“Sekali saja kau melihat
sosoknya dalam pantulan cermin, tidak akan ada lagi yang dapat melihat sosokmu”
Lawang sewu, gedung tua yang berada di pusat Kota
Semarang. Salah satu gedung yang disebut-sebut paling angker di Kota Semarang
bahkan di Indonesia. Meskipun terletak di pusat kota yang padat dan ramai,
keadaan gedung yang kuno, gelap, kosong dan tak lagi digunakan secara
operasional menunjang anggapan masyarakat mengenai keangkeran gedung ini. Namun
bagiku yang telah mengamati dan mengagumi gedung ini sejak dulu, Lawang Sewu
tidak lebih dari gedung megah dengan seni arsitekstur yang klasik, indah dan
bersejarah.
Banyak rumor beredar seputar keangkeran gedung yang
dibangun lebih dari satu abad yang lalu ini. Penampakan pocong, kuntilanak, genderuwo,
dan yang paling terkenal adalah penampakan arwah noni-noni Belanda pernah
dialami oleh orang-orang yang tidak sengaja melihatnya. Begitulah setidaknya
anggapan orang-orang yang mengaku melihat langsung penampakan-penampakan yang
terjadi. Aku tertawa saja mendengarnya.
Ada apa dengan arwah noni-noni Belanda di Lawang
Sewu? Menurut, lagi-lagi yang disebut rumor, beredar kabar sering terjadi penampakan
arwah noni-noni Belanda di koridor atau di bekas ruang dansa dalam gedung
Lawang Sewu. Mereka sering menampakan diri di malam hari, menjinjing kepalanya
yang terpenggal, menampakan wajah pucat berlumuran darah, rambut terurai panjang
terseret hingga menyentuh lantai, tersenyum dengan seringai sinis, sungguh senyuman
yang paling jelek dan mengerikan.
Lagi-lagi aku tertawa. Maksudku, bukan berarti aku
meragukan penglihatan masyarakat yang mengaku menyaksikan sendiri penampakan mengerikan
itu. Namun sebagai seorang gadis yang berdarah Belanda, aku tidak terima jika
senyuman gadis-gadis bangsa kami disebut jelek dan mengerikan. Ayolah, kau
tentu sependapat denganku, kan? Lihat saja artis-artis ibukota yang setidaknya memiliki
setengah darah Belanda, atau kita lebih sering menyebutnya artis blasteran Indo, begitu laris manis di
kancah hiburan negeri ini karena memang memiliki kecantikan yang menawan dengan
khasnya sendiri. Kesimpulannya, kurasa
masyarakat terlalu mengada-ada dan berlebihan dalam menggambarkan penampakan
noni Belanda yang mereka lihat.
*
Arwah para noni Belanda yang disebut-sebut sering
tampak gentayangan di Lawang Sewu
diyakini merupakan arwah korban kekejaman tentara Jepang di era penjajahan
Jepang atas Indonesia. Tentara Jepang ini masuk menyerbu gedung yang sebelumnya
merupakan kantor perkereta-apian yang dikelola pemerintah kolonial Belanda dan
menjadikan gedung ini sebagai basis kekuasaan mereka. Kala itu, gedung ini juga
dijadikan oleh tentara Jepang sebagai tempat eksekusi tentara Belanda maupun
pejuang Indonesia. Pada masa itu pula, gedung ini menjadi saksi betapa kejamnya
perbuatan dilakukan tentara Jepang terhadap noni-noni Belanda. Tentara Jepang
melakukan pemerkosaan secara brutal terhadap para noni Belanda dan setelah puas
menyalurkan hasratnya, para tentara Jepang memenggal kepala noni tersebut. Begitu
yang sering kudengar dari penjelasan para tour
guide yang memandu para wisatawan mengunjungi gedung ini setelah gedung
Lawang Sewu dibuka secara umum sebagai objek wisata Kota Semarang. Kali ini aku
tidak tertawa, aku selalu merasa begitu miris setiap mendengar cerita bagian
ini.
*
Tanggapan mengenai rumor keangkeran Lawang Sewu
rupanya tidak sama bagi semua orang. Banyak orang yang merasa ketakutan dengan
rumor-rumor keangkeran Lawang Sewu, tapi ada juga beberapa yang menanggapinya
hanya dengan tertawa seperti aku. Dia adalah Bella, gadis dengan nama yang
cantik untuk ukuran kaum pribumi. Maaf
jika aku menyebutnya dengan kurang hormat. Sejak kecil aku tidak dibiasakan
untuk menyukai ataupun bertoleransi dengan penduduk asli Nusantara. Well, aku memang terlahir dan dibesarkan
di negeri ini. Namun, berasal dari keluarga keturunan Belanda yang kolot
membuatku terkadang masih mempertahankan kekolotan yang orangtuaku turunkan padaku.
Orangtuaku hanya mengijinkan dan membiasakan aku bergaul serta bersekolah di
sekolah-sekolah khusus untuk kalangan elit kami, tentunya kalangan yang terdiri
orang-orang dari bangsa kami sendiri atau bangsa Eropa lain yang tinggal di negeri
ini. Jadi maklum saja, walaupun sekarang orang lain mengatakan jaman telah
berubah atau Indonesia telah lama merdeka, bagiku memiliki darah Belanda tetap
masih jauh lebih bernilai dan elit dibanding mereka kaum pribumi.
Aku yang tumbuh menjadi seorang yang bisa dibilang
memiliki sifat sangat sovinis, hampir tidak pernah memberi penilaian
positif atau pujian pada mereka yang kusebut kaum pribumi. Tapi kali ini, khusus untuk kali ini saja, kuakui Bella
memang cukup cantik untuk menyandang nama yang memiliki arti kata cantik tersebut, nama panggilan yang
sama sebagaimana aku disapa dari namaku, Bellatrice.
Bella adalah satu-satunya gadis dari kaum pribumi, yang tidak pernah sekalipun
terlintas dalam benakku, akan memberikan pengaruh yang begitu besar dalam kehidupanku
sekarang. Dengan mengesampingkan keangkuhan dan rasa ketidaksukaanku padanya, kuakui
dia memiliki wajah yang begitu menarik dan mempesona. Kesan pertama yang
kulihat dari penampilannya adalah gadis dinamis yang penuh rasa percaya diri.
Gadis pribumi berpendidikan, yang di masa penjajahan kolonial Belanda dulu
tentu sulit untuk ditemukan. Gadis sombong berasal dari keluarga dengan status
sosial yang cukup tinggi yang selalu memanjakannya, yang menjadikannya arogan
karena terbiasa selalu mendapatkan apa yang diinginkan. Kenyataannya tebakanku
tepat. Entah bagaimana, aku dapat menilainya secara tepat karena aku merasa dia
memiliki banyak kemiripan denganku. Bagiku, karakternya itu tidaklah sulit
untuk ditiru atau diperankan.
Bella adalah tipikal gadis yang tidak kusuka, tapi aku
cukup beruntung bertemu dengannya satu tahun yang lalu. Waktu itu, dia bersama
delapan teman perempuannya, yang sekarang tentunya menjadi koleksi teman-teman
pribumiku, mengunjungi gedung Lawang Sewu dengan penuh keberanian. Aku masih
ingat waktu pertama kali gadis-gadis ini mendatangi Lawang Sewu dengan penuh
semangat dan rasa penasaran. Nampaknya mereka adalah kumpulan mahasiswi baru
yang bukan merupakan warga asli Semarang dan baru pertama kali mengunjungi
Lawang Sewu. Gadis-gadis ini tampaknya telah mendengar rumor-rumor keangkeran
Lawang Sewu dan penasaran ingin membuktikannya sendiri. Hal ini terlihat dari
keberanian mereka memilih mengunjungi Lawang Sewu yang terbuka untuk umum
selama dua puluh empat jam non-stop justru
pada malam hari.
Waktu itu, pukul sebelas malam mereka memulai perjalanan
wisata mengelilingi gedung dipandu
oleh Aldo, tour guide termuda dan
paling tampan di antara yang lainnya. Meskipun Aldo jauh lebih muda dariku, perbedaan
usia tidak membuat pesonanya berkurang sehingga aku berhenti untuk menyukainya.
Ya, sudah sejak lama aku naksir pada Aldo. Itulah sebabnya, aku selalu berusaha
meluangkan waktuku untuk mendampingi Aldo ketika melakukan tugas sebagai tour guide, terutama di malam hari. Aku
begitu senang karena seakan perasaanku terbalas, Aldo tidak pernah mengatakan
bosan atau keberatan untuk selalu kudampingi.
Seperti biasanya, sebelum memulai perjalanan, Aldo
akan menjelaskan peraturan standar selama di dalam gedung
seperti senantiasa bersama, menjaga sikap, bergandengan tangan dan berdoa. Aldo
juga menjelaskan tiga larangan yang tidak boleh dilanggar selama di dalam
gedung. Gadis-gadis ini tampak terdiam dan mendengarkan dengan seksama. Yah,
seperti halnya denganku, gadis-gadis ini merasa larangan tidak boleh melakukan
sesuatu memang lebih menarik dibanding anjuran untuk melakukan sesuatu.
“Pertama,” Aldo mulai menyebutkan larangan pertama
dengan suara lirih dan nada penuh misteri, “tidak boleh bugil.” Gadis-gadis itu
sontak tertawa, begitu juga denganku. Aku selalu suka dengan cara Aldo
menyebutkan larangan-larangan ini.
“Aih, siapa juga yang mau bugil di sini,” komentar Bella
dengan sinis. Sungguh, aku tidak suka cara bicara makhluk ini di depan Aldo-ku.
Cih.
“Baik kita lanjut ke larangan kedua,” Aldo
melanjutkan. “Tidak boleh melakukan seks di sini.” Gadis-gadis ini makin
tertawa keras.
“Hah, ada-ada saja. Apa ada orang bodoh yang mau
melakukannya di tempat semacam ini?” komentar sinis Bella lagi. Aku semakin
kesal dengan cara bicaranya pada Aldo. Aldo hanya diam saja menunggu gadis-gadis
ini berhenti tertawa untuk melanjutkan larangan ketiga.
“Oke, apa larangan ketiga? Striptease?” ejek Bella dengan nada mencemooh disambut tawa
teman-temannya.
“Lancangnya kau!” teriakku. Aku benar-benar kesal
pada gadis lancang ini. Aldo diam saja, hanya tersenyum manis, menunggu suasana
tenang untuk menyampaikan larangan yang ketiga.
“Hmm, sebenarnya itu juga dilarang, tapi kurasa itu
sudah termasuk dari larangan pertama. Bukan itu yang kumaksud.” Aldo
melanjutkan, “Larangan ketiga hanya dilarang untuk dilakukan di malam hari
seperti sekarang ini. Larangan ketiga adalah...” Gadis-gadis itu kini terdiam,
mendengar dengan penasaran.
“Tidak boleh melihat ke dalam cermin.” kataku dan
Aldo secara serempak. Aku sudah hafal benar dengan kalimat Aldo ini. Dapat
mengucapkannya bersamaan seperti ini selalu mendatangkan kepuasan bagi diriku.
“Kenapa? Kenapa?” Gadis-gadis itu bertanya dengan penuh
rasa penasaran.
“Dari tiga larangan tadi, cuma yang ketiga yang
membuat kalian ingin tahu alasannya? Kalian tidak penasaran kenapa tidak boleh
bugil atau melakukan seks di sini?” goda Aldo. Ah, senyuman Aldo begitu manis.
“Alih-alih menjawab pertanyaan malah mengalihkan
pembicaraan. Memang karena tidak beralasan kan? Karena kau hanya mengarang
larangan-larangan konyol tadi.” Komentar pedas Bella memecah lamunanku akan
manisnya senyuman Aldo.
Mataku terbelalak. Kurang ajar sekali gadis sombong
ini! Rasanya hampir saja aku ingin mengosongkan tanganku, melemparkan apa yang
kubawa sejak tadi ke wajahnya dan mencengkeramkan jari-jariku ke leher gadis
sombong ini, mencekiknya tanpa ampun. Namun seolah ingin menghentikanku, Aldo
buru-buru menjelaskan, “Karena sekali saja kau melihat sosoknya dalam pantulan
cermin, tidak akan ada lagi yang dapat melihat sosokmu.” Semua orang terdiam. Aku
dapat melihat gadis-gadis ini sedikit merinding mendengar alasan yang disampaikan
Aldo.
Suasana masih senyap. Berbekal satu lampu senter, Aldo
mulai mengajak rombongan ini berkeliling melintasi koridor dan ruangan yang hanya
memiliki penerangan remang-remang. Sesekali Aldo berhenti dan menjelaskan
tempat-tempat yang dilewati, menceritakan sejarah dan kisah yang berhubungan
dengan setiap ruang yang ada. Aku mendengarkan penjelasan Aldo dengan seksama.
Gadis-gadis ini hanya berdiri berdempet-dempetan, saling bergandengan lengan,
benar-benar tak bernyali, kecuali Bella. Entah apa yang dipikirkannya, tapi
yang kulihat tampaknya dia tidak percaya pada hal-hal yang berbau mistis atau
angker. Sesekali dia melontarkan pertanyaan yang menyudutkan Aldo, bahwa yang
dikatakan Aldo hanyalah bualan. “Biarkan saja gadis sombong ini,” bisikku pada
Aldo.
Aldo kembali memandu perjalanan ke ruangan yang
lain. Sesekali kami berpapasan dengan rombongan pengunjung lain yang dipandu tour guide yang lain. Sesekali aku
bertemu dengan teman-temanku, menanggapi godaan mereka yang menertawakan aku
yang terus mengekor Aldo.
“Apa benar pintu di gedung ini mencapai seribu
pintu, sampai-sampai gedung ini dinamai Lawang Sewu?” Bella bertanya pada Aldo
dengan nada menantang, menguji apa kira-kira bualan Aldo selanjutnya.
Aldo menjelaskan. “Masyarakat setempat menyebut
bangunan ini Lawang Sewu yang memiliki arti Seribu Pintu memang karena
bangunan ini memiliki pintu yang sangat banyak.” Aldo menunjuk pintu-pintu
dengan sorot lampu senter sembari melanjutkan penjelasannya. “Namun kenyataannya,
dari berbagai pengalaman para wisatawan baik lokal maupun mancanegara yang mencoba
menghitung jumlah pintu selalu tidak akan menemukan jumlah sampai seribu pintu
atau seribu lawang.”
“Tentunya karena mereka tidak bisa menghitung pintu
yang tidak bisa mereka lihat,” tambahku lirih. “Pintu satu arah yang tidak akan
mengijinkan siapapun kembali,” ucapku pada diri sendiri. Tidak ada yang
menggubris ucapanku. Aldo mengajak rombongan menelusuri ruang yang lainnya.
Rombongan kami yang dipandu Aldo akhirnya sampai di
ruangan kosong yang begitu luas. Aldo menjelaskan bahwa ruang ini dulu
digunakan sebagai ruang dansa para bangsawan dan pejabat Belanda. Aku menutup
mataku. Aku bisa membayangkan sebuah ball
room yang dulu begitu megah dan indah, dipenuhi semerbak wangi aroma parfum
para bangsawan bercampur aroma asap cerutu yang khas, teralun bunyi instrumen
musik klasik untuk iringan berdansa yang dimainkan para pemusik dari sudut
ruangan, terdengar tawa cekikikan gadis-gadis Belanda bergaun mewah
mendengarkan candaan ala bangsawan sambil menikmati segelas rum merah. Kini
ruang dansa telah berubah menjadi ruangan kosong, gelap dan berdebu. Tidak ada
lagi perabotan-perabotan mewah yang dulu tertata rapi di dalamnya. Hanya
tertinggal sebuah cermin antik berfigura kayu jati berukir yang tergantung di
salah satu sisi dinding bagian tengah.
“Silahkan kalau ingin melihat-lihat dulu.” Suara
Aldo terdengar menggema di ruang ini. Pandangan gadis-gadis ini tertuju pada cermin
yang menggantung di dinding. Cermin tersebut tampak mencolok dengan ukuran
setinggi orang dewasa dan lebar kurang lebih satu meter. Sebuah cermin antik
yang entah kanapa terlihat sangat serasi menggantung di salah satu sisi dinding
ruang dansa gedung Lawang Sewu ini.
“Itu cermin yang tidak boleh dilihat? Mana? Kita
semua melihatnya, terjadi sesuatu?” tanya Bella dengan sinis.
“Kalau melihat cermin saja tidak masalah, tapi tidak
untuk bercermin. Kau tentu tahu kan perbedaan antara melihat cermin dan
bercermin?” jawab Aldo santai.
Bisa kulihat Bella tidak puas dengan jawaban Aldo. Bella
memiliki kesamaan karakter denganku, dari persamaan sifat kami, aku langsung
tahu dengan jelas bahwa Bella justru merasa tertantang untuk bercermin ketika
dilarang.
Perlahan, ketika perhatian Aldo sedang teralih untuk
membantu rombongan gadis-gadis itu sibuk berfoto ria, Bella menjauhi rombongan,
mendekat ke arah cermin dan berdiri menghadap ke arah cermin. Aldo yang
melihatnya segera berteriak melarang Bella, tapi terlambat. Bella terlalu jauh
untuk dihentikan.
Tiba-tiba saja Lawang Sewu gelap total. Gadis-gadis
ini berteriak histeris saling merapat. Terdengar pula teriakan para pengunjung
yang sedang berkeliling dari berbagai sisi gedung yang lain. Aldo berusaha menenangkan
gadis-gadis yang histeris di sampingnya. Aldo mencoba mengotak-atik senternya
yang tiba-tiba secara misterius juga tidak dapat dinyalakan.
Di tengah ball
room, tidak terdengar apapun. Bella tampak berdiri syok tak bersuara. Aku
berada di sampingnya. Sebelum seluruh lampu padam, ia sempat melihat pantulan
bayangan paling mengerikan yang pernah ia saksikan dari dalam cermin.
Pemandangan yang paling ia sesali untuk dilihat. Pemandangan paling mengerikan
sesuai dengan rumor yang beredar di antara masyarakat. Pantulan bayangan sosok perempuan
tanpa kepala dengan lumuran darah di sekitar leher dan gaun putihnya. Sosok
tersebut mendekap kepalanya yang putus dengan kedua tangannya di depan perut.
Kepala tersebut berambut pirang tergerai panjang hingga menyentuh lantai,
dengan wajah putih pucat dan mata gelap menatap tajam tanpa ekspresi. Wajah
tanpa ekspresi tersebut mendadak berubah menjadi senyuman sinis, senyuman
paling mengerikan, dengan seringai tajam, menarik kedua ujung bibir menyipit
membelah pipi mencapai telinga. Bella terjatuh pingsan.
Beberapa saat kemudian, para petugas di Lawang Sewu
berhasil menyalakan penerangan di seluruh area gedung. Secara misterius pula
senter Aldo kembali menyala. Gadis-gadis itu berkerumun, berlari mendekatiku
dengan penuh cemas dan ketakutan, menghujaniku dengan banyak pertanyaan. “Bella,
kau tak apa-apa?! Sedang apa sih?! Kenapa memisahkan diri? Jangan jauh-jauh
dari rombongan!”
Aldo meraih tanganku untuk pertama kalinya, membantuku bangun dari posisi dudukku. Kukatakan pada teman-teman baruku itu, “Aku baik-baik saja. Ayo kita lanjutkan perjalanan.” Kuberikan senyuman terbaikku pada Aldo yang masih menggenggam tanganku.
Kami beranjak meninggalkan ruangan. Sebelum benar-benar meninggalkan ball room, aku sempatkan melihat cermin antik berfigura ukiran kayu jati tadi. Dari balik pantulan cermin dapat kulihat sosok bayangan terjebak, meronta meminta tolong, berteriak histeris, menangis tak terkendali namun tidak ada yang mendengarnya. Kukatakan padanya dengan sinis, “Apa kau tidak menyimak? Sekali saja kau melihat sosokku dalam pantulan cermin, tidak akan ada lagi yang dapat melihat sosokmu.” Aku berlalu meninggalkan ball room dengan tubuh baruku yang utuh.
Aldo meraih tanganku untuk pertama kalinya, membantuku bangun dari posisi dudukku. Kukatakan pada teman-teman baruku itu, “Aku baik-baik saja. Ayo kita lanjutkan perjalanan.” Kuberikan senyuman terbaikku pada Aldo yang masih menggenggam tanganku.
Kami beranjak meninggalkan ruangan. Sebelum benar-benar meninggalkan ball room, aku sempatkan melihat cermin antik berfigura ukiran kayu jati tadi. Dari balik pantulan cermin dapat kulihat sosok bayangan terjebak, meronta meminta tolong, berteriak histeris, menangis tak terkendali namun tidak ada yang mendengarnya. Kukatakan padanya dengan sinis, “Apa kau tidak menyimak? Sekali saja kau melihat sosokku dalam pantulan cermin, tidak akan ada lagi yang dapat melihat sosokmu.” Aku berlalu meninggalkan ball room dengan tubuh baruku yang utuh.
~ Karanganyar, Desember 2013 ~