Minggu, 20 September 2015

Cerpen Horor



Pintu Ke-Seribu Lawang Sewu
Cerpen Rahaminta Bee

“Sekali saja kau melihat sosoknya dalam pantulan cermin, tidak akan ada lagi yang dapat melihat sosokmu”


Lawang sewu, gedung tua yang berada di pusat Kota Semarang. Salah satu gedung yang disebut-sebut paling angker di Kota Semarang bahkan di Indonesia. Meskipun terletak di pusat kota yang padat dan ramai, keadaan gedung yang kuno, gelap, kosong dan tak lagi digunakan secara operasional menunjang anggapan masyarakat mengenai keangkeran gedung ini. Namun bagiku yang telah mengamati dan mengagumi gedung ini sejak dulu, Lawang Sewu tidak lebih dari gedung megah dengan seni arsitekstur yang klasik, indah dan bersejarah.
Banyak rumor beredar seputar keangkeran gedung yang dibangun lebih dari satu abad yang lalu ini. Penampakan pocong, kuntilanak, genderuwo, dan yang paling terkenal adalah penampakan arwah noni-noni Belanda pernah dialami oleh orang-orang yang tidak sengaja melihatnya. Begitulah setidaknya anggapan orang-orang yang mengaku melihat langsung penampakan-penampakan yang terjadi. Aku tertawa saja mendengarnya.
Ada apa dengan arwah noni-noni Belanda di Lawang Sewu? Menurut, lagi-lagi yang disebut rumor, beredar kabar sering terjadi penampakan arwah noni-noni Belanda di koridor atau di bekas ruang dansa dalam gedung Lawang Sewu. Mereka sering menampakan diri di malam hari, menjinjing kepalanya yang terpenggal, menampakan wajah pucat berlumuran darah, rambut terurai panjang terseret hingga menyentuh lantai, tersenyum dengan seringai sinis, sungguh senyuman yang paling jelek dan mengerikan.
Lagi-lagi aku tertawa. Maksudku, bukan berarti aku meragukan penglihatan masyarakat yang mengaku menyaksikan sendiri penampakan mengerikan itu. Namun sebagai seorang gadis yang berdarah Belanda, aku tidak terima jika senyuman gadis-gadis bangsa kami disebut jelek dan mengerikan. Ayolah, kau tentu sependapat denganku, kan? Lihat saja artis-artis ibukota yang setidaknya memiliki setengah darah Belanda, atau kita lebih sering menyebutnya artis blasteran Indo, begitu laris manis di kancah hiburan negeri ini karena memang memiliki kecantikan yang menawan dengan khasnya sendiri. Kesimpulannya, kurasa masyarakat terlalu mengada-ada dan berlebihan dalam menggambarkan penampakan noni Belanda yang mereka lihat.
*
Arwah para noni Belanda yang disebut-sebut sering tampak gentayangan di Lawang Sewu diyakini merupakan arwah korban kekejaman tentara Jepang di era penjajahan Jepang atas Indonesia. Tentara Jepang ini masuk menyerbu gedung yang sebelumnya merupakan kantor perkereta-apian yang dikelola pemerintah kolonial Belanda dan menjadikan gedung ini sebagai basis kekuasaan mereka. Kala itu, gedung ini juga dijadikan oleh tentara Jepang sebagai tempat eksekusi tentara Belanda maupun pejuang Indonesia. Pada masa itu pula, gedung ini menjadi saksi betapa kejamnya perbuatan dilakukan tentara Jepang terhadap noni-noni Belanda. Tentara Jepang melakukan pemerkosaan secara brutal terhadap para noni Belanda dan setelah puas menyalurkan hasratnya, para tentara Jepang memenggal kepala noni tersebut. Begitu yang sering kudengar dari penjelasan para tour guide yang memandu para wisatawan mengunjungi gedung ini setelah gedung Lawang Sewu dibuka secara umum sebagai objek wisata Kota Semarang. Kali ini aku tidak tertawa, aku selalu merasa begitu miris setiap mendengar cerita bagian ini.
*
Tanggapan mengenai rumor keangkeran Lawang Sewu rupanya tidak sama bagi semua orang. Banyak orang yang merasa ketakutan dengan rumor-rumor keangkeran Lawang Sewu, tapi ada juga beberapa yang menanggapinya hanya dengan tertawa seperti aku. Dia adalah Bella, gadis dengan nama yang cantik untuk ukuran kaum pribumi. Maaf jika aku menyebutnya dengan kurang hormat. Sejak kecil aku tidak dibiasakan untuk menyukai ataupun bertoleransi dengan penduduk asli Nusantara. Well, aku memang terlahir dan dibesarkan di negeri ini. Namun, berasal dari keluarga keturunan Belanda yang kolot membuatku terkadang masih mempertahankan kekolotan yang orangtuaku turunkan padaku. Orangtuaku hanya mengijinkan dan membiasakan aku bergaul serta bersekolah di sekolah-sekolah khusus untuk kalangan elit kami, tentunya kalangan yang terdiri orang-orang dari bangsa kami sendiri atau bangsa Eropa lain yang tinggal di negeri ini. Jadi maklum saja, walaupun sekarang orang lain mengatakan jaman telah berubah atau Indonesia telah lama merdeka, bagiku memiliki darah Belanda tetap masih jauh lebih bernilai dan elit dibanding mereka kaum pribumi.
Aku yang tumbuh menjadi seorang yang bisa dibilang memiliki sifat sangat sovinis, hampir tidak pernah memberi penilaian positif atau pujian pada mereka yang kusebut kaum pribumi. Tapi kali ini, khusus untuk kali ini saja, kuakui Bella memang cukup cantik untuk menyandang nama yang memiliki arti kata cantik tersebut, nama panggilan yang sama sebagaimana aku disapa dari namaku, Bellatrice.
Bella adalah satu-satunya gadis dari kaum pribumi, yang tidak pernah sekalipun terlintas dalam benakku, akan memberikan pengaruh yang begitu besar dalam kehidupanku sekarang. Dengan mengesampingkan keangkuhan dan rasa ketidaksukaanku padanya, kuakui dia memiliki wajah yang begitu menarik dan mempesona. Kesan pertama yang kulihat dari penampilannya adalah gadis dinamis yang penuh rasa percaya diri. Gadis pribumi berpendidikan, yang di masa penjajahan kolonial Belanda dulu tentu sulit untuk ditemukan. Gadis sombong berasal dari keluarga dengan status sosial yang cukup tinggi yang selalu memanjakannya, yang menjadikannya arogan karena terbiasa selalu mendapatkan apa yang diinginkan. Kenyataannya tebakanku tepat. Entah bagaimana, aku dapat menilainya secara tepat karena aku merasa dia memiliki banyak kemiripan denganku. Bagiku, karakternya itu tidaklah sulit untuk ditiru atau diperankan.
Bella adalah tipikal gadis yang tidak kusuka, tapi aku cukup beruntung bertemu dengannya satu tahun yang lalu. Waktu itu, dia bersama delapan teman perempuannya, yang sekarang tentunya menjadi koleksi teman-teman pribumiku, mengunjungi gedung Lawang Sewu dengan penuh keberanian. Aku masih ingat waktu pertama kali gadis-gadis ini mendatangi Lawang Sewu dengan penuh semangat dan rasa penasaran. Nampaknya mereka adalah kumpulan mahasiswi baru yang bukan merupakan warga asli Semarang dan baru pertama kali mengunjungi Lawang Sewu. Gadis-gadis ini tampaknya telah mendengar rumor-rumor keangkeran Lawang Sewu dan penasaran ingin membuktikannya sendiri. Hal ini terlihat dari keberanian mereka memilih mengunjungi Lawang Sewu yang terbuka untuk umum selama dua puluh empat jam non-stop justru pada malam hari.
Waktu itu, pukul sebelas malam mereka memulai perjalanan wisata mengelilingi gedung dipandu oleh Aldo, tour guide termuda dan paling tampan di antara yang lainnya. Meskipun Aldo jauh lebih muda dariku, perbedaan usia tidak membuat pesonanya berkurang sehingga aku berhenti untuk menyukainya. Ya, sudah sejak lama aku naksir pada Aldo. Itulah sebabnya, aku selalu berusaha meluangkan waktuku untuk mendampingi Aldo ketika melakukan tugas sebagai tour guide, terutama di malam hari. Aku begitu senang karena seakan perasaanku terbalas, Aldo tidak pernah mengatakan bosan atau keberatan untuk selalu kudampingi.
Seperti biasanya, sebelum memulai perjalanan, Aldo akan menjelaskan peraturan standar selama di dalam gedung seperti senantiasa bersama, menjaga sikap, bergandengan tangan dan berdoa. Aldo juga menjelaskan tiga larangan yang tidak boleh dilanggar selama di dalam gedung. Gadis-gadis ini tampak terdiam dan mendengarkan dengan seksama. Yah, seperti halnya denganku, gadis-gadis ini merasa larangan tidak boleh melakukan sesuatu memang lebih menarik dibanding anjuran untuk melakukan sesuatu.
“Pertama,” Aldo mulai menyebutkan larangan pertama dengan suara lirih dan nada penuh misteri, “tidak boleh bugil.” Gadis-gadis itu sontak tertawa, begitu juga denganku. Aku selalu suka dengan cara Aldo menyebutkan larangan-larangan ini.
“Aih, siapa juga yang mau bugil di sini,” komentar Bella dengan sinis. Sungguh, aku tidak suka cara bicara makhluk ini di depan Aldo-ku. Cih.
“Baik kita lanjut ke larangan kedua,” Aldo melanjutkan. “Tidak boleh melakukan seks di sini.” Gadis-gadis ini makin tertawa keras.
“Hah, ada-ada saja. Apa ada orang bodoh yang mau melakukannya di tempat semacam ini?” komentar sinis Bella lagi. Aku semakin kesal dengan cara bicaranya pada Aldo. Aldo hanya diam saja menunggu gadis-gadis ini berhenti tertawa untuk melanjutkan larangan ketiga.
“Oke, apa larangan ketiga? Striptease?” ejek Bella dengan nada mencemooh disambut tawa teman-temannya.
“Lancangnya kau!” teriakku. Aku benar-benar kesal pada gadis lancang ini. Aldo diam saja, hanya tersenyum manis, menunggu suasana tenang untuk menyampaikan larangan yang ketiga.
“Hmm, sebenarnya itu juga dilarang, tapi kurasa itu sudah termasuk dari larangan pertama. Bukan itu yang kumaksud.” Aldo melanjutkan, “Larangan ketiga hanya dilarang untuk dilakukan di malam hari seperti sekarang ini. Larangan ketiga adalah...” Gadis-gadis itu kini terdiam, mendengar dengan penasaran.
“Tidak boleh melihat ke dalam cermin.” kataku dan Aldo secara serempak. Aku sudah hafal benar dengan kalimat Aldo ini. Dapat mengucapkannya bersamaan seperti ini selalu mendatangkan kepuasan bagi diriku.
“Kenapa? Kenapa?” Gadis-gadis itu bertanya dengan penuh rasa penasaran.
“Dari tiga larangan tadi, cuma yang ketiga yang membuat kalian ingin tahu alasannya? Kalian tidak penasaran kenapa tidak boleh bugil atau melakukan seks di sini?” goda Aldo. Ah, senyuman Aldo begitu manis.
“Alih-alih menjawab pertanyaan malah mengalihkan pembicaraan. Memang karena tidak beralasan kan? Karena kau hanya mengarang larangan-larangan konyol tadi.” Komentar pedas Bella memecah lamunanku akan manisnya senyuman Aldo.
Mataku terbelalak. Kurang ajar sekali gadis sombong ini! Rasanya hampir saja aku ingin mengosongkan tanganku, melemparkan apa yang kubawa sejak tadi ke wajahnya dan mencengkeramkan jari-jariku ke leher gadis sombong ini, mencekiknya tanpa ampun. Namun seolah ingin menghentikanku, Aldo buru-buru menjelaskan, “Karena sekali saja kau melihat sosoknya dalam pantulan cermin, tidak akan ada lagi yang dapat melihat sosokmu.” Semua orang terdiam. Aku dapat melihat gadis-gadis ini sedikit merinding mendengar alasan yang disampaikan Aldo.
Suasana masih senyap. Berbekal satu lampu senter, Aldo mulai mengajak rombongan ini berkeliling melintasi koridor dan ruangan yang hanya memiliki penerangan remang-remang. Sesekali Aldo berhenti dan menjelaskan tempat-tempat yang dilewati, menceritakan sejarah dan kisah yang berhubungan dengan setiap ruang yang ada. Aku mendengarkan penjelasan Aldo dengan seksama. Gadis-gadis ini hanya berdiri berdempet-dempetan, saling bergandengan lengan, benar-benar tak bernyali, kecuali Bella. Entah apa yang dipikirkannya, tapi yang kulihat tampaknya dia tidak percaya pada hal-hal yang berbau mistis atau angker. Sesekali dia melontarkan pertanyaan yang menyudutkan Aldo, bahwa yang dikatakan Aldo hanyalah bualan. “Biarkan saja gadis sombong ini,” bisikku pada Aldo.
Aldo kembali memandu perjalanan ke ruangan yang lain. Sesekali kami berpapasan dengan rombongan pengunjung lain yang dipandu tour guide yang lain. Sesekali aku bertemu dengan teman-temanku, menanggapi godaan mereka yang menertawakan aku yang terus mengekor Aldo.
“Apa benar pintu di gedung ini mencapai seribu pintu, sampai-sampai gedung ini dinamai Lawang Sewu?” Bella bertanya pada Aldo dengan nada menantang, menguji apa kira-kira bualan Aldo selanjutnya.
Aldo menjelaskan. “Masyarakat setempat menyebut bangunan ini Lawang Sewu yang memiliki arti Seribu Pintu memang karena bangunan ini memiliki pintu yang sangat banyak.” Aldo menunjuk pintu-pintu dengan sorot lampu senter sembari melanjutkan penjelasannya. “Namun kenyataannya, dari berbagai pengalaman para wisatawan baik lokal maupun mancanegara yang mencoba menghitung jumlah pintu selalu tidak akan menemukan jumlah sampai seribu pintu atau seribu lawang.”
“Tentunya karena mereka tidak bisa menghitung pintu yang tidak bisa mereka lihat,” tambahku lirih. “Pintu satu arah yang tidak akan mengijinkan siapapun kembali,” ucapku pada diri sendiri. Tidak ada yang menggubris ucapanku. Aldo mengajak rombongan menelusuri ruang yang lainnya.
Rombongan kami yang dipandu Aldo akhirnya sampai di ruangan kosong yang begitu luas. Aldo menjelaskan bahwa ruang ini dulu digunakan sebagai ruang dansa para bangsawan dan pejabat Belanda. Aku menutup mataku. Aku bisa membayangkan sebuah ball room yang dulu begitu megah dan indah, dipenuhi semerbak wangi aroma parfum para bangsawan bercampur aroma asap cerutu yang khas, teralun bunyi instrumen musik klasik untuk iringan berdansa yang dimainkan para pemusik dari sudut ruangan, terdengar tawa cekikikan gadis-gadis Belanda bergaun mewah mendengarkan candaan ala bangsawan sambil menikmati segelas rum merah. Kini ruang dansa telah berubah menjadi ruangan kosong, gelap dan berdebu. Tidak ada lagi perabotan-perabotan mewah yang dulu tertata rapi di dalamnya. Hanya tertinggal sebuah cermin antik berfigura kayu jati berukir yang tergantung di salah satu sisi dinding bagian tengah.
“Silahkan kalau ingin melihat-lihat dulu.” Suara Aldo terdengar menggema di ruang ini. Pandangan gadis-gadis ini tertuju pada cermin yang menggantung di dinding. Cermin tersebut tampak mencolok dengan ukuran setinggi orang dewasa dan lebar kurang lebih satu meter. Sebuah cermin antik yang entah kanapa terlihat sangat serasi menggantung di salah satu sisi dinding ruang dansa gedung Lawang Sewu ini.
“Itu cermin yang tidak boleh dilihat? Mana? Kita semua melihatnya, terjadi sesuatu?” tanya Bella dengan sinis.
“Kalau melihat cermin saja tidak masalah, tapi tidak untuk bercermin. Kau tentu tahu kan perbedaan antara melihat cermin dan bercermin?” jawab Aldo santai.
Bisa kulihat Bella tidak puas dengan jawaban Aldo. Bella memiliki kesamaan karakter denganku, dari persamaan sifat kami, aku langsung tahu dengan jelas bahwa Bella justru merasa tertantang untuk bercermin ketika dilarang.
Perlahan, ketika perhatian Aldo sedang teralih untuk membantu rombongan gadis-gadis itu sibuk berfoto ria, Bella menjauhi rombongan, mendekat ke arah cermin dan berdiri menghadap ke arah cermin. Aldo yang melihatnya segera berteriak melarang Bella, tapi terlambat. Bella terlalu jauh untuk dihentikan.
Tiba-tiba saja Lawang Sewu gelap total. Gadis-gadis ini berteriak histeris saling merapat. Terdengar pula teriakan para pengunjung yang sedang berkeliling dari berbagai sisi gedung yang lain. Aldo berusaha menenangkan gadis-gadis yang histeris di sampingnya. Aldo mencoba mengotak-atik senternya yang tiba-tiba secara misterius juga tidak dapat dinyalakan.
Di tengah ball room, tidak terdengar apapun. Bella tampak berdiri syok tak bersuara. Aku berada di sampingnya. Sebelum seluruh lampu padam, ia sempat melihat pantulan bayangan paling mengerikan yang pernah ia saksikan dari dalam cermin. Pemandangan yang paling ia sesali untuk dilihat. Pemandangan paling mengerikan sesuai dengan rumor yang beredar di antara masyarakat. Pantulan bayangan sosok perempuan tanpa kepala dengan lumuran darah di sekitar leher dan gaun putihnya. Sosok tersebut mendekap kepalanya yang putus dengan kedua tangannya di depan perut. Kepala tersebut berambut pirang tergerai panjang hingga menyentuh lantai, dengan wajah putih pucat dan mata gelap menatap tajam tanpa ekspresi. Wajah tanpa ekspresi tersebut mendadak berubah menjadi senyuman sinis, senyuman paling mengerikan, dengan seringai tajam, menarik kedua ujung bibir menyipit membelah pipi mencapai telinga. Bella terjatuh pingsan.
Beberapa saat kemudian, para petugas di Lawang Sewu berhasil menyalakan penerangan di seluruh area gedung. Secara misterius pula senter Aldo kembali menyala. Gadis-gadis itu berkerumun, berlari mendekatiku dengan penuh cemas dan ketakutan, menghujaniku dengan banyak pertanyaan. “Bella, kau tak apa-apa?! Sedang apa sih?! Kenapa memisahkan diri? Jangan jauh-jauh dari rombongan!” 
Aldo meraih tanganku untuk pertama kalinya, membantuku bangun dari posisi dudukku. Kukatakan pada teman-teman baruku itu, “Aku baik-baik saja. Ayo kita lanjutkan perjalanan.” Kuberikan senyuman terbaikku pada Aldo yang masih menggenggam tanganku. 
Kami beranjak meninggalkan ruangan. Sebelum benar-benar meninggalkan ball room, aku sempatkan melihat cermin antik berfigura ukiran kayu jati tadi. Dari balik pantulan cermin dapat kulihat sosok bayangan terjebak, meronta meminta tolong, berteriak histeris, menangis tak terkendali namun tidak ada yang mendengarnya. Kukatakan padanya dengan sinis, “Apa kau tidak menyimak? Sekali saja kau melihat sosokku dalam pantulan cermin, tidak akan ada lagi yang dapat melihat sosokmu.” Aku berlalu meninggalkan ball room dengan tubuh baruku yang utuh.

~ Karanganyar, Desember 2013 ~

Kamis, 03 September 2015

Sebuah Cerpen Comedy Romance



Trap of Love
Cerpen Rahaminta Bee

Menyoroti liang lahir pasien dengan lampu senter adalah tindakan bodoh. Melakukannya di depan orang yang kau suka adalah tindakan super duper hiper bodoh! Huwaa…!!!
*
Namaku adalah Raisa. Aku bekerja sebagai seorang perawat di bangsal bedah salah satu Rumah Sakit ternama di pusat Ibukota. Bicara soal profesiku, sejujurnya, menurutku menjadi seorang perawat itu enak-enak-nggak. Enaknya, waktu pulang ke kampung halaman, yang notabene-nya kampung nun jauh di pelosok pesisir yang bahkan nggak pernah dan mungkin nggak akan pernah tergambar dalam google map, aku akan disambut seluruh warga kampung dan dielu-elukan sebagai mantri paling top sedunia dan paling tahu segalanya. Bayangkan, aku hanya mengukur tekanan darah alias nensi saja, warga kampung akan melihatku dengan tatapan kagum berbinar-binar. Bahkan, tak jarang beberapa dari mereka sampai menitihkan air mata penuh haru! Behh… (Oke, bagian yang terakhir memang lebay. So, abaikan!)
Nah, salah satu bagian yang nggak enak dari profesiku adalah ketika bekerja di rumah sakit. Bayangkan, warna seragam perawat di rumah sakit rata-rata melulu itu-itu saja. Seragam berwarna putih, pink rose, yellow glow, purple maple, pokoknya warna-warna soft yang monoton itu-itu saja. Jujur, sebenarnya aku pribadi sangat ingin seragam perawat itu sekali-kali berwarna hitam gelap. Syukur-syukur pakai name tag-nya yang glow in the dark gitu. Pasti bakal keren. Kenapa? Karena warna-warna semacam pink rose, yellow glow, purple maple sama sekali nggak maskulin. Eh, aku belum bilang, ya? Aku ini laki-laki lho. Kalian nggak salah persepsi, kan?
Hah… Memang begini sedihnya, menjadi kaum minoritas di profesi yang sangat mulia ini. Sekeras apapun usaha diri ini berjuang untuk membuktikan bahwa berjati diri heavy metal1, tetap saja orang mempersepsikan diri ini berjiwa heavy rotation2. Oke, biar kuperjelas, namaku adalah Joko Raisanto, aku adalah perawat dan plis, jangan panggil aku suster karena aku cowo tulen. 
Heavy Metal

Heavy Rotation

*
Seperti yang kukatakan sebelumnya, aku bekerja di salah satu rumah sakit ternama di Ibukota. Itu artinya, aku bekerja di lingkungan yang menuntut tenaga pekerjanya harus, atau senggaknya selangkah lebih maju dibanding tenaga di daerah. Alhasil, aku yang sebelumnya hanya lulusan diploma keperawatan, akhirnya harus meng-upgrade diri dengan pendidikan yang lebih tinggi, yaitu program Sarjana Keperawatan dan melanjutkan program pendidikan Profesi Ners. Yup, Ners bukan Nurse. Kau boleh memeriksanya dalam KBBI kalau nggak percaya.
Kita lewatkan saja pembahasan tentang masa pendidikan sarjana, nggak menarik. Membahas sulitnya mengerjakan skripsi sambil bekerja di rumah sakit hanya akan membuat dada nyeseg lagi. Tapi syukurlah, itu sudah berlalu. Sekarang ini, aku sedang menjalani fase terakhir program Profesi Ners di salah satu perguruan tinggi swasta yang berlokasi di dekat rumah sakit tempatku bekerja. Emm, bagi yang belum tahu apa itu program Profesi Ners, begini penjelasan singkatnya: Program Profesi Ners adalah semacam program koas di kedokteran. Yang intinya, selama satu tahun penuh, calon Ners harus menjalani praktik pendidikan di rumah sakit, dan nantinya setelah lulus akan bergelar Ners (kayak penulis manis yang bikin cerpen ini lho... Cieee... kekeke...)
Sekarang bayangkan, aku yang juga berstatus sebagai karyawan di rumah sakit, kini harus merangkap pula dengan kegiatan praktik program Profesi Ners. Berat banget kan? Ahaha, lebay… Sebenarnya nggak berat-berat amat kok. Apa sih yang berat bagi mahasiswa yang hampir seumuran dengan dosen dan pembimbing kliniknya, apalagi yang kebanyakan juga merupakan teman sendiri. Aku hanya perlu menerapkan tehnik komunikasi teman antar teman, beres. Hehehe… (adik-adik calon perawat yang baik di rumah, mohon jangan ditiru)
Nah, namanya juga praktik pendidikan, artinya mau nggak mau aku harus belajar dan menjalani praktik di semua stase keperawatan yang jumlahnya sebelas itu (Udah deh, nggak usah minta disebutin sebelas stase itu apa aja. Pokoknya Ilmu Keperawatan dibagi menjadi sebelas spesialisasi. Titik!)
Aku sih senang-senang saja menjalani praktik stase bedah, toh selama ini aku bekerja di bangsal bedah. Nah, yang paling nggak aku suka adalah stase maternitas. Stase yang mempelajari sistem reproduksi, kehamilan, melahirkan, nifas, bayi baru lahir dan segala yang berhubungan dengan itu. Bukannya apa-apa, tapi banyak faktor yang membuat aku nggak suka dan trauma dengan stase maternitas ini.
Salah satu faktor utama penyebab rasa trauma itu adalah gara-gara si Joko. Ah, si Joko, sahabatku yang kurus hitam mirip dakocan itu. Kesal rasanya harus berbagi nama depan dengannya. Nggak cukup hanya dengan berbagi nama, kami pun dulu harus berbagi kamar saat masih indekos menjalani proses pendidikan diploma. Aku dan Joko adalah dua dari tujuh laki-laki yang survive di antara seratus mahasiswi se-angkatan. Sudah bisa dibayangkan bukan, asal muasal tuduhan heavy rotation yang digeneralisasikan terhadap kami para kaum Adam yang minoritas ini. 
Dakocan
Rasa traumaku pada stase keperawatan maternitas bermula dari kejadian sepuluh tahun yang lalu. Waktu itu, aku yang satu kelompok dengan Joko saat menjalani praktik pendidikan di salah satu klinik bersalin, untuk pertama kalinya menyaksikan secara langsung proses persalinan dengan mata kepala sendiri. Aku hampir pingsan waktu itu. Selama dua hari berikutnya aku kehilangan nafsu makan. Rasanya masih terbayang dengan jelas tubuh sang ibu berdarah-darah dengan liang lahir yang sobek parah. Ugh...
Suwer Bro, aku nggak doyan makan,” kataku pada Joko setelah selama dua hari kehilangan nafsu makan.
Waktu itu, Joko berhasil memaksa dan menyeretku untuk mendatangi tempat makan malam favorit kami, warung penyetan Yu Kokom. Seperti biasanya, warung penyetan Yu Kokom selalu ramai. Tapi nggak seperti biasanya, aroma sedap sambal terasi buatan Yu Kokom sama sekali nggak menggugah selera makanku. Aku cuma memandangi menu tempe penyet yang sudah terlanjur dingin di hadapanku.
“Jangan begitu, kita harus profesional, jawab Joko sok cool. Masa gara-gara lihat darah aja bikin nggak doyan makan.”
Dasar si Joko, sok keren. Padahal waktu si pasien melahirkan, dia yang paling lihai melipir di balik gorden  dan tiba-tiba raib melarikan diri.
“Sejujurnya, aku sih nggak masalah melihat lumuran darah korban kecelakaan lalu lintas, atau pasien yang muntah darah. Tapi aku nggak sanggup melihat darah ibu melahirkan. Nggak tega, kasihan,” kataku sambil merogoh recehan dari dalam saku celana untuk pengamen maco alias mantan cowo yang hampir menuju meja makan kami. “Aku masih ngeri membayangkan si ibu itu. Mungkin kelak aku nggak bakal menghamili perempuan.”
“Hah? Serius, Bro?” Joko terkekeh. “Hei, Jeng! Sini!” teriak Joko mengundang pengamen maco yang sedang khusyuk menirukan Cita Citata -melantunkan lirik ‘Sakit rasanya diputus cinta, bikin kita jadi gegana, gelisah galau merana’- dengan syahdunya. Pengamen maco itu buru-buru berhenti bernyanyi mendengar panggilan Joko, kemudian dengan semangat berlari-lari kecil menuju meja makan kami. Aku memelototi Joko. Apa lagi yang akan dilakukannya sekarang? Bulu kudukku merinding.
“Ih, Mas Boi, jangan panggil Jeng, ah,” sahut si pengamen maco dengan nada manis memanja yang sangat nge-bass sambil membelai pundak Joko menggunakan tangannya yang berotot. “Panggil akika Jamilah,” lanjutnya sambil mengedip-ngedipkan mata nggak jelas. Aku semakin merinding.
“Ini lho, Jamilah,” kata Joko. Aku memelototinya lagi. “Temanku ini, gara-gara membantu persalinan pasien, dia bilang nggak mau menghamili perempuan. Nggak tega katanya,” lanjut Joko lantang. Aku cepat-cepat berusaha menginjak kaki Joko di bawah meja. Namun sungguh sial, nggak kena! Joko mengejek dengan menjulurkan lidah.
Ow, olala syalala, Mas Boi! Mas Boi cocok nih sama akika.” Jamilah mulai duduk di sampingku tanpa dipersilahkan. Dia menyodor-nyodorkan dada silikonnya pada lenganku. Sumpah, menurutku, paduan antara dada yang menonjol dan menyembul penuh di balik kaos ketat pink yang dikenakannya dengan bahu yang kekar dan berotot benar-benar absurd. Aku mulai berkeringat dingin membayangkan dada besarnya itu ditumbuhi rambut lebat.
“Kalau dengan akika, Mas Boi nggak perlu cemas. Akika mah di-ini-itu-in sampai ini-itu juga nggak bakal hamil,” ucap Jamila sambil menggelayuti lenganku. Aku sudah nggak sanggup lagi. Aku bergegas beranjak, berusaha melepaskan diri dan lari pontang-panting meninggalkan warung Yu Kokom. Sialan si Joko! Gara-gara ulahnya, bertambah dua hari lagi aku kehilangan nafsu makan.
*
Bro, belajar apa untuk ujian praktik?” tanya Joko membuyarkan lamunanku tentang peristiwa mengerikan dengan pengamen maco sepuluh tahun lalu.
Aku memandang Joko tanpa minat. Entah terkena karma apa aku, sehingga selalu berjodoh dengan si Joko ini. Sudah lebih dari satu dekade, kami hampir selalu bersama. Sejak pertama bertemu di bangku perkuliahan diploma hingga sekarang bekerja di tempat yang sama, dia terus-terusan mengekori aku. Dia bahkan sekarang juga mengikuti program Profesi Ners yang sama denganku. Nahasnya, kalau kami sedang berdua, biasanya aku yang lebih sering tertimpa sial.
“Nggak belajar. Malas,” jawabku santai. “Lagian materi ujiannya kan diundi. Percuma belajar, kita juga nggak tahu, ujian apa yang bakal keluar.”
Ya, kurang dari setengah jam lagi, kami akan menjalani ujian praktik akhir tahun, serangkaian ujian berbagai stase ilmu keperawatan yang nantinya akan diundi satu saja untuk diikuti. Kali ini, pengujinya bukan main-main, para ahli di bidangnya yang ditunjuk oleh kampus dari berbagai rumah sakit. Persiapanku sih hanya satu, berdoa. Semoga aku mendapat undian ujian selain keperawatan maternitas. Fiuuh…
Sepuluh menit menjelang ujian, ketiga puluh mahasiswa peserta ujian, termasuk aku dan Joko dipersilahkan untuk mengambil undian ujian. Joko mendapat jatah ujian stase bedah dan betapa irinya aku. Perlahan aku membuka undian yang kuambil dan alamaaak… stase maternitas! Tuhan! Kenapa?! Dari sebelas stase yang ada, kenapa maternitas, stase yang paling nggak kukuasai justru menjadi ujianku?
Joko menertawakan nasibku sebelum akhirnya berlalu memasuki ruang ujian stase bedah. Sialan Joko! Beruntung benar nasibnya. Aku berusaha menarik napas panjang. Semoga saja pengujiku kali ini bisa diajak sedikit kongkalingkongkingkong untuk meluluskanku. Aku berlalu memasuki ruang ujian stase maternitas.
“Permisi,” aku mengetuk pintu sebelum memasuki ruangan.
“Silahkan masuk, Joko Raisanto.”
Suara seorang perempuan yang kukenal terdengar mengagetkan dari dalam ruang ujian. Aku buru-buru masuk dan memastikan siapa pemilik suara itu. Nggak salah lagi, Diana! Oh Tuhan! Diana! My first and everlasting love!
“Lama nggak ketemu ya,” sapa Diana. “Nggak terasa sudah sepuluh tahun,” lanjutnya sambil melemparkan senyuman manis ala Lady Di (ah, senyum Diana yang ala senyum nyokapnya Prince William dan Prince Harry ini memang paling top markotop).
Lady Di (nyokapnya Prince William dan Prince Harry)
Aku masih hanya terdiam. Masih berdiri terpaku dengan mata terbelalak dan mulut menganga mirip ikan koi yang tepar karena kena sawan. Aku masih nggak percaya dengan apa yang kulihat. Di hadapanku ada Diana yang duduk sambil tersenyum manis. Si cantik, mahasiswi akademi kebidanan yang aku puja-puja sejak dulu. Nggak, sekarang dia sudah bukan mahasiswi lagi, melainkan penguji ahli. Oh Tuhan, dia masih tetap cantik!
*
Ah, aku jadi teringat lagi, sehari setelah peristiwa rayuan pengamen maco itu, Joko berulah lagi dengan menceritakan secara heboh hal yang menimpaku kepada orang-orang se-antero klinik bersalin tempat kami praktik. Diana yang akademi kebidanannya juga sedang praktik di klinik bersalin yang sama dengan akademi keperawatanku turut terkekeh mendengar cerita lebay Joko. Sialan Joko!
 “Nggak perlu cemas Mas Raisa,” ucap Diana waktu itu. “Meskipun pasti sakit, tapi melahirkan adalah naluri perempuan. Perempuan itu makhluk kuat.” Diana tersenyum padaku. Ah, senyum Diana. Aku langsung jatuh cinta padanya waktu itu.
Sebelum aku dan Diana berpisah sepuluh tahun yang lalu karena Diana harus pindah tempat praktik, aku nekad memberanikan diri untuk nembak dia.
“Mas Raisa ada riwayat keluarga berketurunan anak kembar?” Diana balik bertanya saat kutanya apa dia mau jadian denganku.
Aku sudah mendengar rumor dari Joko beberapa waktu sebelumnya. Usut punya usut, Diana sangat terobsesi menginginkan anak kembar. Baginya, pacaran memiliki tujuan yang jelas, yaitu menikah dan punya anak. Alhasil, untuk berpacaran dengannya, otomatis seseorang harus memenuhi satu syarat, memiliki darah genetik berketurunan kembar.
“Ada,” jawabku spontan.
“Oh ya?! Dari pihak siapa?” Diana tampak bersemangat.
“Emm…”
“Mmm?”
“Kakek Adam dan Nenek Hawa?” jawabku ragu-ragu.
Berikutnya, yang terjadi adalah aku ditolak mentah-mentah. Itulah terakhir kali aku bertemu Diana. Kalau tante Tetty Kadi -penyanyi kesukaan emak- bilang, ‘kuncup di hatiku... yang lama kusimpan... hancur kini... sebelum berkembang... ah...’.
Salah satu Album Tetty Kadi koleksi Emak
 *
“Lakukan pemeriksaan fisik ibu dengan usia kandungan trimester ketiga,” ucap Diana membuyarkan lamunanku. Sial, aku kebanyakan melamun sampai lupa sedang ujian!
Aku berusaha stay cool dan sok tenang meski sebenarnya otakku serasa sedang berceceran entah dimana. Pikiranku morat-marit. Aku begitu senang, tapi juga gusar melihat Diana. Apa Diana sudah menikah? Apa dia sudah punya anak kembar sesuai harapannya? Argh…!!! Ayolah Raisa, fokus ujian!
Aku mendekati manekin boneka ibu hamil yang terbaring di atas tempat tidur. Di sebelahnya terdapat baki berisi instrumen pemeriksaan fisik. Aku berusaha mengumpulkan ceceran otakku. Aku mulai mempergunakan intrumen yang tersedia satu per satu sesuai dengan apa yang bisa kuingat dari buku yang selama ini selalu kuabaikan di perpustakaan.
Aku mulai menekan-nekan lembut manekin perut pasien, melakukan pemeriksaan posisi janin dalam perutnya. Aku kemudian juga menggunakan alat pengukur untuk mengukur TFU3.
“Hasilnya?” Suara lembut Diana mengusik konsentrasiku.
“Err… Posisi janin normal, punggung janin di sisi perut ibu sebelah kiri, kaki dan tangan di sisi perut kanan ibu. Posisi kepala janin sudah sesuai. TFU 32 cm, normal.”
Selanjutnya aku menempelkan fetoscope4 pada manekin perut pasien dan menempelkan telingaku pada sisi yang lain untuk mendengar detak jantung janin. Aku mulai berpura-pura menghitung sambil mengawasi jam tanganku.
“Denyut jantung janin 144 kali/menit. Normal.” Aku melirik wajah Diana. Sejauh ini sepertinya yang kulakukan sudah benar. Hal itu terlihat dari wajah Diana yang manggut-manggut.
Ternyata nggak sesulit perkiraanku. Apa berikutnya? Senter? Aku melihat sebuah senter kecil di atas baki. Satu-satunya alat yang belum kugunakan. Aku meraihnya sambil terus memutar otak, berusaha membolak-balikkan halaman-halaman buku perpustakaan dalam otakku yang sebenarnya belum pernah kubaca. Untuk apa senter ini?
Nggak banyak waktu yang tersisa dan aku belum mampu mengingat apa fungsi senter itu. Tanpa membuang waktu lagi, aku menyalakan senter itu dengan tangan kananku, menyibak rok manekin pasien dengan tangan kiriku, lalu mengarahkan sorot lampu senter ke arah liang lahir pasien. Aku mendengar Diana terkikik pelan. Sial, apa yang aku lakukan? Salah, ya?
“Hasilnya?” tanya Diana masih terkikik.
“Emm…”
“Mmm?”
“Jalan lahir ada. Normal.” Aku memaksakan nyengir kuda di hadapan Diana. Aku bisa merasakan panas di wajahku. Pastilah sekarang mukaku merah tak karuan. Diana terkikik lagi.
Sesaat kemudian alarm tanda waktu telah habis berbunyi dan aku bergegas meninggalkan ruangan dipenuhi perasaan malu. Diana menertawaiku. Huwaa…!
*
“Gimana Bro?” sapa Joko yang sudah menantiku di luar ruang ujian. “Konyol banget ya ujiannya. Sok-sokan ngasih alat jebakan segala. Masa ada fetoscope untuk memeriksa pasien bedah? Aku ngakak-lah di dalam.”
“Hah? Alat jebakan?” napasku tercekat. Aku mendelosor terjongkok lemas di lantai. Senternya... senternya adalah jebakan! Kenapa aku menggunakan senternya?! Untuk menyoroti liang lahir pula?! Dan kulakukan di depan Diana?! Aku beringsut mendekati dinding di depanku untuk menjedut-jedutkan kepalaku di sana. Betapa bodohnya aku!
“Diana!” seru Joko melihat sosok perempuan yang tiba-tiba keluar dari pintu yang sama denganku dan sekarang berdiri di belakangku. Aku nggak berani membalikkan tubuh atau menunjukkan wajahku. Benar-benar konyol! Aku malu!
“Eh, Mas Joko, kan? Apa kabar?” sapa suara Diana lembut. Aku yang kelewat malu, pura-pura sok sibuk dengan isi tasku yang sebenarnya nggak ada isinya.
“Kabar baik. Masih seperti dulu, aku dan temanku yang satu ini masih sama-sama joko5 (Red: Jejaka Gegana). Ahaha,” tawa Joko menggelegar di lobi laboratorium. Dasar gila si Joko! Mengumbar sesuatu yang nggak penting seenaknya sendiri.
“Wah, syukur kalau begitu. Em, kalau begitu boleh minta tolong sesuatu?” tanya Diana ragu-ragu.
“Minta tolong apa, Diana?” tanya Joko penuh semangat.
“Tolong sampaikan pada teman mas Joko yang masih sama-sama joko itu,” ucap Diana terdengar malu-malu. Aku memasang telinga, penasaran dengan permohonan Diana yang berhubungan denganku itu. “Tolong sampaikan padanya, kalau aku sudah nggak terlalu peduli punya anak kembar atau nggak.”
Aku terlonjak berdiri nggak percaya. Aku membalikkan badan dan memandang wajah Diana yang tersenyum penuh makna padaku. Oh Tuhan, kalau Engkau hendak memberikan kebahagiaan ini untuk hamba, mengapa Engkau sertai dengan tragedi memalukan terlebih dahulu segala sih? Ah, tapi thank God, anyway. Aku dan Diana sesekali saling curi pandang dan masih sama-sama tersipu malu. Saat itu, dunia serasa milik kami berdua, sedangkan Joko kami anggap tak lebih dari sebatang singkong mirip dakocan yang berdiri di sana. Ah, rasanya ingin kusampaikan pada tante Tetty Kadi -penyanyi kesukaan emak-, kuncup di hatiku yang telah lama layu, kini akhirnya berkembang.
**Fin**

Catatan kaki:
1.      Heavy metal adalah sebuah aliran musik rock yang pada umumnya memiliki lirik yang berkaitan dengan maskulinitas dan kejantanan.
2.      Heavy rotation adalah sebuah judul lagu yang dipopulerkan oleh kelompok girlband AKB48 dan sister group-nya NMB48, SKE48, HKT48 termasuk JKT48, yang berada di Indonesia. Sesuai dengan nama grupnya, rata-rata girlband dan sister group-nya ini masing-masing terdiri dari kurang lebih 48 personil gadis muda. (busyeet dah, 48 cyiiin...!)
3.      TFU atau Tinggi Fundus Uteri, yaitu nilai puncak tertinggi rahim sesuai usia kehamilan yang gunanya untuk memperkirakan taksiran usia dan berat badan janin.
4.      Fetoscope adalah sebuah stetoskop janin yaitu stetoskop akustik berbentuk seperti terompet untuk mendengarkan bunyi jantung janin.
5.      Joko adalah salah satu nama yang sering digunakan sebagai nama anak laki-laki suku Jawa. Joko sendiri dalam bahasa Jawa memiliki arti perjaka/jejaka (tapi belum tentu gegana lho ya...)

 ****



Tanya jawab behind the scene, eh, behind the script denk...
Pembaca: “Iuh, penulisnya ngaco. Masa si Jamilah bisa-bisanya nyanyiin lagu Cita Citata. Itu kan cerita flashback sepuluh tahun yang lalu. Cita Citata belum tenar keless. Logika ceritanya dimana?”
Penulis: “Ish.. ya udah sih. Anggap aja si Jamilah adalah mahluk masa depan yang berperjalanan astral ke masa lalu. Lagian juga ini kan cerita komedi, nggak usah terlalu mikirin logika cerita, ‘kay?
(Padahal aslinya penulis emang baru menyadari kejanggalan cerita setelah berulang kali membaca tulisannya. Tapi yang namanya ngeles emang lebih gampang daripada mengaku salah. Behahahahahaha...!!!)

Nb: Sekelumit cerpen fiktif ini dipersembahkan untuk para Pejoeang Aneka tercinta.. Para member Diklat Prabajatan CPNS Kemenkes Golongan III Angkatan 2 tahun 2015 Bapelkes Semarang Salaman.

Anggota Keluarga:
Om Tito (aka Dr. Bone, aka Pipi), Mba Norma (ex-nya Risma, eh, Bu Risma), Pak Ali (the conclusion maker), Bu Ida (the singer of ‘Jagalah Hati’ Cover Version), Mas Niwan (eh, Pak deng. Takut kualat..hha), Mas Irawan (Pak Ustad), Om Dedi (Pak Ketu), Mas Rudy, Mimi Ikha, Mamah Indah (Mama Eiffle), Mba Maedy (Tante Cantik), Mba Yulia (eh, Oom deng), Mba Kiky, Mba Rohmi, Mas Harli, Bunda Wisnu, Mas Eko (Ayah yang hampir terlupakan Upin Ipinnya), Mba Susi, Mas Hendra, Mas Anshary, Bli Putu (aka Harvey Malaiholo KW 2), Mba Aprillia, Mba Arum (Fangirl YG), Mba Bilqist (Masha without Bear), Mas Yulius (aka Ciyus Mi Apah, aka Aw aw rawrrr....), Dek Dyna (Anak pertamanya Pipi Mimi), Mba Evi, Mas Aryo, Mba Retno (Anak keduanya Pipi Mimi), Mas Hisyam (aka Anang Hermansyah KW 3), Mba Arum, Mba Arin (si Kutu Buku ANEKA), Mas Dwi, Mba Siska (aka Cheez), Mba Tyas (Bumil yang phobia kucing), Britama-nis (Ih, wow, aku di posisi bottom five usia termuda! Yeay!), Mba April (aka April cantik), Mas Badri (aka Ichan, kisanak berjemari lentik), Mba Sanda (tanpa R apalagi L), Rizki (aka Iik)

Tough I love you all...

~Karanganyar, 3 September 2015~