(Cerita ini diikutsertakan dalam tantangan menulis #KarakterJahat @KampusFiksi)
Apa yang bisa
kuceritakan tentang seorang wanita jelata yang bercita-cita menjadi Sri Baginda
Ratu? Bahwa dia cantik, muda, mempesona? Bahwa para lelaki akan bertekuk lutut setiap
kali menatap mata iblisnya yang bercahaya bagai malaikat tanpa dosa? Hha, mata
itu memang sangat luar biasa. Sepasang mata yang telah menakhlukkan hati Sang
Baginda Raja, bahkan Sang Putera Mahkota, bahkan juga Sang Maha Patih. Tapi itu
belum cukup. Bukan para pria itu yang berada dalam sepasang mata tersebut,
melainkan kejayaan dan kekuasaan.
*
“Kandaku, Baginda Raja
Muringgono. Apa Kanda memang harus pergi?” ucapku dengan tatapan mata
berkaca-kaca.
“Dindaku, Niniala
sayang, Kanda pergi tak akan lama. Dinda tak perlu bersedih. Putera Mahkota
akan menggantikan Kanda untuk menjaga Dinda selama Kanda pergi.”
Aku mengangguk pelan
saat Baginda Raja mengatakan itu sambil memelukku. Suara lelaki yang berusia
hampir tiga kali usiaku itu begitu lembut terdengar di telingaku. Lelaki itu
kemudian berlutut, mengusap dan mencium perutku yang membuncit bulat sempurna.
“Jagalah ibumu untuk
Ayahanda,” ucapnya penuh kasih sayang. “Kau dan kakakmu, Sang Putera Mahkota,
harus menjaga wanita terkasih Ayahanda dengan baik,” lanjutnya lagi. Di
sampingnya, Sang Putera Mahkota Suringgono berdiri penuh kesungguhan, menerima
titah Sang Ayahanda Baginda Raja.
Aku mulai menitihkan
air mata menghantarkan kepergian Sang Baginda Raja. Aku sangat berharap Baginda
Raja akan segera kembali padaku. Ya, kembali padaku dalam kondisi yang
kuharapkan tentunya.
*
“Wahai putraku, Sang
Putera Mahkota,” rengekku manja pada Sang Putera Mahkota Suringgono.
“Wahai kekasihku,
Niniala. Kau tidak perlu memanggilku dengan sebutan penuh hormat saat kita
hanya sedang berdua saja,” jawab Sang Putera Mahkota Suringgono lembut. “Lagi
pula aku bukan putramu. Aku adalah priamu, ayah dari janin yang kau kandung,”
lanjutnya lagi sambil mengelus perutku. Dia benar-benar berbeda ketika ayahnya
tak ada. Akupun begitu.
“Tapi tetap saja,
sekarang ini kau masihlah Sang Putera Mahkota Kerajaan, putra tiriku,” rengekku
makin manja di dalam pelukannya. Hari belum berlalu semenjak kepergian Sang Baginda
Raja. Tapi seperti biasa, Sang Putera Mahkota Suringgono tidak akan membuang
waktu untuk segera membuaiku dalam pelukannya.
“Tidak akan lama,”
ucapnya meyakinkan. “Dalam dua hari, Sayang. Jasad Ayahanda akan kembali dan
aku akan segera naik tahta. Saat itu tiba, kaulah sayangku, Niniala, yang akan
menjadi permaisuriku.”
Aku tersenyum saja
mendengar ucapannya. Aku menantikan dengan penuh harap akan janjinya. Janji
untuk menghabisi Sang Baginda Raja.
*
Satu hari telah berlalu.
Sesuai janji Sang Putera Mahkota Suringgono, kabar duka wafatnya Sang Baginda
Raja menyelimuti kerajaan. Kereta kuda Sang Baginda Raja terperosok ke dalam
jurang. Tidak ada yang tahu bahwa terperosoknya kereta kuda Sang Baginda Raja
merupakan bagian dari rencana yang telah tersusun rapi. Rencana jahat Sang Putera
Mahkota yang tak sabar ingin naik tahta. Demi siapa? Tentu saja demi aku.
“Bagaimana kau ingin
merayakannya, Permaisuri cantikku?” tanya Sang Putera Mahkota Suringgono padaku
dengan nada penuh kemenangan. Lagi-lagi, aku tersenyum saja mendengarnya.
“Sekarang ini, tidak
ada yang lebih kuinginkan selain air kelapa segar,” jawabku penuh manja. “Aku
terlalu lelah berpura-pura menangis di hadapan para petinggi kerajaan.”
“Baiklah, Sayangku. Aku
akan menyuruh pelayan untuk memetikkan buah kelapa segar untukmu,” jawabnya
penuh kasih sayang.
“Tidak, bukan begitu.
Emm, entah bagaimana menjelaskannya, tapi janinku ini rasanya ingin meminum air
kelapa hasil petikan ayah kandungnya,” jelasku buru-buru sambil bergelayut manja
pada lengannya yang kokoh.
Sang Putera Mahkota
Suringgono tersenyum lebar mendengar permintaan manjaku. “Baiklah kalau begitu,
Sayang. Akan kupanjatkan dan kupetikkan seribu buah kelapa kalau kau mau,”
bisiknya sambil mencium bibirku. Aku menyambut ciuman mesranya. Ciuman penuh
nafsu putra tiriku yang malang.
*
Tubuh itu terhempas
begitu saja di atas tanah yang sedikit basah akibat gerimis. Tubuh itu berwarna
biru pucat dan tentu saja sudah tak lagi bernyawa. Mungkin nyawa tubuh itu
melayang sepenuhnya sesaat setelah terhempas dari ketinggian pohon kelapa yang
mencapai sepuluh meter itu. Aku sedikit kesulitan menyembunyikan tawaku saat
melihat matanya yang belum tertutup sempurna itu memandangku. Matanya itu seolah
menatapku penuh rasa tak percaya. Di tengah rasa terkejut para penghuni istana
atas kecelakaan maut yang menimpa Sang Putera Mahkota, aku berusaha menangis
dalam kepura-puraan.
“Sang Putera Mahkota
Suringgono telah meninggal,” ucap Sang Maha Patih mengumumkan, setelah
memastikan detak nadi Sang Putera Mahkota benar-benar telah lenyap. Aku semakin
larut berpura-pura menangis histeris.
*
“Sangat
sempurna,” gumamku penuh kegembiraan. Setelah sepanjang hari berpura-pura berduka, akhirnya di dalam
kamarku yang mewah dan nyaman, aku dapat berisitirahat serta bebas
mengungkapkan rasa gembiraku.
“Aku
harap hasil kerjaku memuaskanmu, Cintaku.” Suara serak seorang pria
menyadarkanku dari pikiranku yang sempat melayang akibat terlalu gembira. Aku
menoleh padanya.
“Tentu
saja, Maha Patihku. Kau benar-benar dapat diandalkan,” aku memeluknya dengan
kemanjaanku yang khas, seperti yang biasa kulakukan untuk menakhlukkan Sang
Baginda Raja dan Sang Putera Mahkota.
“Semua
itu tidak akan terwujud tanpa kecerdasan akalmu, Cintaku. Idemu menaruh ular
berbisa di puncak pohon kelapa sangat cemerlang,” sanjungnya terhadapku.
“Kelicikanmu yang cerdas itu benar-benar tak terpikirkan olehku sebelumnya,”
lanjutnya lagi. Aku meliriknya sesaat. Walaubagaimanapun, setelah apa yang
dilakukannya untuk membantuku, tetap saja, ucapannya yang menyebut diriku licik
sedikit mengganggu di telingaku.
“Anak
yang kukandung ini, kelak tentu akan sangat bangga pada ayahnya. Ayahnya yang
begitu berjuang demi mewujudkan cita-cita ibunya,” ucapku sembari meraih
tangannya dan mengusapkannya ke perutku.
Aku
menatap matanya dengan tatapan mataku yang sayu dan polos. Benar saja,
tatapanku membuatnya tak berdaya. Sesaat kemudian dia membenamkanku dalam
pelukannya. Dalam pelukannya, aku berusaha mati-matian memikirkan cara untuk
menyingkirkannya. Sangat berbahaya. Ada seseorang yang mengetahui sifat licik
di balik sinar mataku yang bagai tanpa dosa ini sangatlah berbahaya. Aku sadari
hal itu sepenuhnya. Sang Maha Patih tidak sebodoh Baginda Raja ataupun Putera
Mahkota. Di balik pelukannya, perlahan ide-ide licik cemerlang lainnya mulai
tersusun rapi dan memenuhi otakku. Aku tersenyum dalam hati.
“Jadi
setelah ini, apa rencanamu, Ratuku?” tanyanya penuh penasaran.
“Kau
mau tahu kelicikanku yang lainnya?” bisikku menggoda. “Nantikanlah. Tak akan
lama lagi.”
*
What is the easiest way to make money from making money on slot machines
BalasHapusThe easiest way is to find the best games to play on your worrione new slot หาเงินออนไลน์ machine online. Play at the best 바카라 사이트 online casinos that let you win real money.